Banda Aceh (RA) – Fauzan Santa memarkirkan sepeda motor Astrea Grand keluaran tahun 2000 di depan sebuah warung kopi. Lebih tepatnya, Coffee Shop Arabica yang berseberangan dengan Pustaka Wilayah Aceh. Ia meluangkan waktu bertemu Rakyat Aceh, Kamis (30/3), bertepatan dengan peringatan Hari Film Nasional.
Fauzan Santa tak lantas menghampiri Rakyat Aceh saat memasuki coffee shop itu. Ia berhenti di depan sebuah rak buku yang tidak terlalu bersar. Tempat itu memiliki sebuah rak buku menggantung tak jauh dari pintu masuk. Sekitar lima menit Fauzan terhenti untuk mengamati buku-buku itu.
“Saya kelewatan tadi,” jelas Fauzan. Ia tak berkomentar apapun soal rak buku itu. Untuk tampilan Dosen, ia tergolong sederhana. Setelan kemeja hitam dengan timpalan bordir berwarna khas Aceh dan jins abu-abu menjadi pilihannya untuk bertemu mahasiswa. Jadwal rutin Fauzan bertemu mahasiswanya memang tiap Kamis.
Sebagai Aktivis Film sekaligus Pengajar mata kuliah Produksi Film, ia tak punya target yang muluk-muluk untuk mahasiswa yang diajarnya. Ia sadar bahwa Aceh masih sangat muda untuk dunia perfilman. “Aceh belum lepas dari persoalan teknis. Persoalan bagaimana cara membuat sebuah sekenario,” terang Fauzan.
Kepada seluruh mahasiswanya, ia tak berharap mereka bisa menjadi film maker, atau pembuat film di Aceh. Tapi setidaknya, mereka bisa mengkritisi setiap film yang mereka tonton. “Untuk saat ini, mereka bisa melihat film sebagai sebuah karya perbandingan dengan media yang lain. Sederhananya bisa membaca film,” jelas Aktifis Film itu.
Membaca film yang dimaksudnya, yaitu tidak sekedar menikmat film seperti yang selama ini terjadi dimasyarakat awam. Mereka bisa menikmati film sekaligus menilai film itu. itu yang selam ini diajarkan Fausan pada mahasiswanya. Memberikan tontonan dan pemahaman film yang baik, hingga mereka mampu mengkritik sebuah film. “Nantinya pengetahuan bagaimana film yang baik akan merangsang mahasiswa untuk membuat cerita lalu memproduksinya,” kata Fauzan.
Kini usia perfilman Indonesia sudah hampir 70 tahun, sejak peringatan 30 Maret 1950, dengan produksi film pertamanya Darah dan Doa. Film yang dibuat sebagai pernyataan sikap bahwa orang Indonesia saat itu sudah mampu memproduksi sebuah karya film.
“Saya kira tujuan menciptakan sebuah karya saat itu untuk memperlihatkan kepribadian sebuah bangsa,” kata Fauzan. Jadi menurutnya, penting untuk melahirkan para film maker lewat jalur pendidikan, agar mereka terarah dan memiliki misi untuk membuat sebuah karya film yang bagus untuk Aceh dengan mengangkat isu budaya yang kini sudah mulai terkikis.
“Orang luar saja membuat film tentang Aceh, film Cut Nyak Dhien,” katanya. Sebab, lanjutnya, kebudayaan daerah itu menjadi inspirasi dan bahan untuk produksi film nasional, dan memiliki nilai jual yang tinggi.
Semester ini kali ke 9, ia diminta mengajar mata kuliah tersebut, terhitung sejak 2010 hingga sekarang. Harapannya kepada mahasiswa dengan sistem mengajarnya, lewat menonton film karya terbaik Indonesia, menulis resensi film, dan tugas membuat scenario dapat merangsang mereka menciptakan sebuah film dengan kualitas yang baik untuk masyarakat Aceh.
“Ada usaha lah, untuk merangsang mereka membuat sebuah film lewat belajar struktur film, bagaimana pesan-pesan itu dirahasiakan dalam sistem gambar. Itu saja sebenarnya, target-target sederhananya,” hingga film Aceh suatu hari nanti dapat menjadi satu media utama bukan lagi media pinggiran harapnya. (mag-77/rif)