LAPORAN : Al Amin, Aceh Besar
BICARA Aceh selalu ada kerap pembicaraan tentang ganja yang memang dari dulu tak akan pernah habis untuk didebatkan.
Sebagian kecil masyarakat kemungkinan masih saja menyanggah mereka memang menyimpan daun memabukan ini. Mereka berdalih mempergunakan tumbuhan ini, tapi tak lebih untuk sebagai bumbu masakan.
Itu pun yang dipergunakan adalah bijinya saja dengan cara digiling halus. Menjadi salah satu bumbu wajib ditambahkan dalam mengolah masakan daging. Katanya agar lebih empuk dan rasanya lebih mantap. Salah satu menu dikenal menggunakan bumbu biji ganja adalah kuah beulangong.
Namun ini tak menghapuskan stigma Aceh produsen terbesar tanaman cannabis sativa di Indonesia. Bahkan baru saja terungkap tangkapan 2,5 ton ganja berhasil digagalkan peredarannya di Pidie. Ganja kemudian diinformasikan berasal dari perbukitan Lamteuba, Aceh Besar.
Ya Lamteuba. Menyebutkan daerah ini, maka selalu saja terberitakan sebagai kawasan perladangan ganja terluas di Aceh. Terakhir di kawasan ini ditemukan ladang ganja seluas 54 hektar di awal 2016 lalu.
Makanya tak salah memang dikatakan Lamteuba sebagai salah satu lumbung penghasil ganja di Aceh. Bahkan ini membuat ada satu anekdot kurang mengenakan di kalangan warga Aceh, “kah lagee aneuk lamteuba! (kau seperti anak lamteuba saja!)”
Lamteuba sendiri merupakan kawasan perbukitan yang berada di kaki gunung Seulawah. Kemungkinan debu vulkanik dari letusan Seulawah berabad-abad lalu, menyebabkan kawasan tersebut sangat subur ditanami tumbuhan apa saja, termasuk ganja.
Bagi masyarakat kawasan Lamteuba sendiri, kondisi lahan yang subur memang menjadi berkah. Namun keahlian dan modal yang kurang membuat mereka tak jarang menjadi berpikir pendek, menerima ajakan menanam ganja.
“Alasan utama warga disini memang untuk penghidupan. Menanam ganja yang dari dulu juga sudah ada menjadi salah satu solusi untuk dapur tetap berasap,” kata Jafar Fauzan, warga Desa Lambada, Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar, akhir pekan lalu.
Namun menurutnya, sebenarnya masyarakat tak ingin melakukan hal yang dilarang oleh pemerintah itu. Namun karena seringnya provokasi dengan iming-iming mendapat uang dengan mudah dan banyak, maka ancaman dipenjara menjadi diabaikan.
“Tapi kami sekarang sudah kapok. Lebih sering dilanda kecemasan ditangkap dan anak-anak kami akan telantar. Bahkan sebenarnya lebih banyak kami ditipu oleh pemodal atau Bandar yang mengambil hasil tananam ganja kami,” tukasnya lagi.
Hal sama juga disampaikan Fauzan Ketua Kelompok Tani OISCA Desa Lambada yang menaungi para petani, telah beralih bertani menanam padi atau jenis palawija lainnya.
Menurut penuturannya, dia sendiri telah berulangkali kena tipu oleh mereka yang menjadi pengumpul ganja untuk dijual ke luar daerah.
“Katanya barangnya ditangkap polisi, padahal sudah berhasil dijualnya. Saya tak ingin ditipu lagi. Lebih baik bertanam padi, hasilnya halal dan tanpa ada kecemasan ditangkap dan tak jadi bahah penipuan lagi,” ujarnya.
Karena itu dia kini bersama puluhan anggota kelompok taninya telah berketetapan hati mereka tak akan lagi menanam ganja. Lahan seluas 94 hektar di kampong mereka kini sudah rata digarap. Penggaran lahan dengan bantuan para anggota TNI melalui program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD).
“Kami berencana pada bulan Oktober nanti, akan menanami lahan seluas 94 hektar ini dengan padi. Kami berharap pemerintah dapat membantu dengan memberikan bantuan berupa pembuatan irigasi,” tukas mantan penanam ganja ini lagi.
Disebutkannya, mereka sangat antusias apa yang dikerjakan nantinya akan berhasil. Lahan mereka sangat subur. Mengenai ketersedian air, kawasan yang akan tanam nantinya mempunyai banyak lumbung air.
“Sekeliling lahan yang telah digarap merupakan lumbung air. Karenanya kami sangat berharap pemerintah dapat membangun satu bendungan supaya drainase atau pengairan ke lahan kami tak bermasalah,” pungkasnya.
Karenanya dia sangat berterima kasih atas keberadaan anggota Babinsa dari Koramil Seulimuem di bawah teritori Kodim 0101/BS yang selama ini membantu mereka untuk merealisasikan perpindahan dari menanam ganja ke tanaman yang lebih bermanfaat dan halal.
“Saya yakin, ke depan desa kami tak lagi dikatakan sebagai penghasil ganja. Kami akan upayakan menjadi salah satu daerah sumber pangan di Aceh Besar,’ tukasnya.
Sementara Serda Sigit M Anggota Babinsa Koramil Seulimuem yang selama ini menjadi pembina masyarakat petani di Desa Lambada, sangat optimis proyek bersama masyarakat untuk mengalihfungsikan lahan selama ini ditanam ganja menjadi kawasan pertanian akan terwujud.
Walau di awal masuknya dia ke desa pada awal 2016 lalu tak mendapat perhatian masyarakat, namun berkat pendekatan yang intens dan selalu menjaga silaturahmi, warga setempat kini telah mantap untuk menjadi petani yang lebih mandiri.
“Awal-awal masuk ke desa ini saya diabaikan warga. Dikumpulkan 30 orang, pertengahan acara pengarahan, hanya tinggal 11 orang. Tapi berkat bimbingan pimpinan dan keinginan kuat membantu warga, kini kami bersama-sama membangun desa,” ujar prajurit ini.
Dandim 0101/BS Letkol Iwan Rosandriyanto dalam satu kesempatan menyebutkan, program alih fungsi lahan tanaman ganja menjadi lahan produktif telah memang telah menjadi atensi Panglima TNI dengan kerjasama BNN Pusat.
“Kita memang menginginkan supaya dari Lamteuba ini nantinya bisa menjadi pilot projek pengalihfungsian lahan atau perladangan ganja menjadi lahan bermanfaat seperti kebun atau persawahan,” tukas Letkol Iwan Rosandriyanto.
BNN mengadopsi keberhasilan yang dilakukan Office On Narcotics Control Bureau (ONCB) atau Badan Pengawas Narkotika Kerajaan Thailand dalam memanfaatkan alih fungsi lahan Opium yang dijadikan agrowisata dan agrobisnis.
Di Indonesia, Aceh menjadi kawasan penghasil ganja terbesar. Saat ini, tercatat ada sekitar 482.000 hektar lahan di Aceh yang digunakan untuk penanaman ganja.
Semoga saja, pengalihan fungsi lahan selama ini ditanam ganja menjadi lahan persawahan atau tanaman produktif lainnya dapat berjalan dengan maksimal. Biarlah ganja hanya jadi salah satu bumbu masakan saat warga membuat kuah belangong saja. ***