BANDA ACEH (RA) – Analisa dampak lingkungan (Amdal) pembangunan PLTA Tampur yang berada di kawasan ekosistem leuser (KEL0 dinilai abal-abal. Banyak analisa diambil oleh Komisi Penilai Amdal Provinsi Aceh tidak tepat.
“Ya, Amdal PT Tampur itu abal-abal. Dalam dokumen Amdal PT Tampur kita sama sekali tidak menemukan analisa-analisa dampak yang akan terjadi bila proyek dilakukan. Dokumen dibuat dengan tidak serius, asal diisi saja kolom-kolomnya. Isi analisanya normatif semua,” kata Community Organizer Yayasan SHEEP Indonesia Husaini usai ditemui gelaran acara diskusi bertema “Melihat Dinamika Kebijakan Sumberdaya Alam Terhadap PLTA Tampur”, yang digelar oleh Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) di Banda Aceh, Senin (19/2).
Disampaikan Husaini, dokumen Amdal seharusnya berisikan temuan – temuan dan analisa –analisa yang ada di lapangan, termasuk kemungkinan dampak dibangunnya PLTA Tampur. Tapi di dokumen Amdal PT Tampur masalah-masalah kemungkinan dampak terjadi tak diterangkan dengan lengkap.
“Tapi di sini (Amdal PLTA Tampur) masalah-masalah yang ditampilkan lucu-lucu. Seperti penggiringan hewan yang dilindungi dan juga ada tentang saat proyek dilaksanakan, aliran air akan ditutup, sudah itu saja. Tak ada penjelasan lanjut, kalau ditutup warga akan mendapatkan air dari mana,? Ujar Husaini yang akrab disapa Pak Hu.
Di Amdal disebutkan, dalam semua tindakan akan melibatkan institusi-institusi di pemerintahan untuk supervise. “Dari apa yang dibuat ini lah kita menilai dokumen Amdal dibuat tidak serius. Jadi pokoknya asal diisi saja kolom-kolomnya.”
Dikatakan Pak Hu juga, dalam penyusunan Amdal harus menganalisa kemungkinan dampak paling negative yang bisa terjadi. Namun pada Amdal PT PLTA menggunakan standar yang normatif atau secara umum.
“Dalam Amdal Tampur ini kita tak melihat adanya analisa kemungkinan bila bencana terjadi, padahal Aceh seperti kita tahu masuk dalam kawasan rawan gempa,” ujarnya lagi.
Tidak adanya analisa tentang kemungkinan bencana terutama gempa, terungkap dari pernyataan Fadlul utusan Dinas Perairan yang menyikapi tentang konstruksi atau kerangka bendungan yang akan dibangun.
“Ini bukan bendungan biasa. Bendungan setinggi 183 meter harus ada komisi-komisi keamanan bendungan atau BKB yang adanya di Jakarta. Syarat yang harus memenuhi BKB karena terkait izin yang akan kita (Dinas Pengairan) akan dikeluarkan,” tukas Fadlul.
Dia telah meminta PT Karmizu sebagai pemegang proyek untuk segera melengkapi data-data yang disebutkannya. “Ini pidana jika syarat-syarat tak dipenuhi. Kalau kita berikan izin tanpa persyaratan terpenuhi berarti kita melanggar hukum,” ujar pria yang turut turun dari dinas pengairan melakukan survei ke lokasi akan dibangun PLTA Tampur.
Pada survey dilakukan, dia melihat telah ada pengeboran sebanyak 14 titik. Tapi pada saat pemantauan itu, dia merasa pengeboran dilakukan berada jauh dari titik dimana seharusnya akan dibangun bendungan PLTA.
Keluarnya Amdal PLTA Tampur juga menjadi pertanyaan dari instasi lingkungan seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Karena dalam Amdal disetujui oleh Komisi Penilai Amdal Provinsi Aceh ada klausul masalah penggiringan hewan-hewan yang dilindungi ke lokasi baru.
“Kami tak punya dana untuk proyek tersebut. Juga dalam penggiringan harus tahapan yang harus dilalui seperti lokasi baru untuk hewan-hewan yang akan dipindahkah. Karena akan berdampak dengan perubahan perilaku para hewan tersebut,” ujar Handoko yang mewakili BKSDA Aceh.
Sementara itu adanya pengeboran seperti diutarakan perwakilan Dinas Pengairan Aceh sangat mengejutkan semua pihak yang hadir pada diskusi. Karena seperti dikatakan Nurul Ikhsan dari Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), seharusnya tidak ada aktifitas pengeboran sampai keluarnya Izin Lingkungan yakni lanjutan setelah keluarnya Amdal PLTA Tampur.
“Inilah yang kita cemaskan. Masih Amdal yang dikeluarkan, tapi sudah ada pengeboran dalam rangka eksplorasi pengeboran seharusnya setelah keluarnya izin lingkungan. Karena itu jika izin lingkungan dikeluarkan, kita (HAkA) akan segera ajukan gugatan,” tukas Ikhsan. (min)