BANDA ACEH (RA) – Nyak Sandang dengan obligasi pembelian pesawatnya menjadi hal fenomena di Aceh. Ini kemudian membuat banyak warga Aceh yang merasa punya saham dalam pembelian alat transportasi massal pada zaman revolusi dulu, ikut menyuarakan kepemilikan saham mereka.
Cerita menarik kemudian muncul dari warga yang ikut membeli saham guna tersedianya angkutan massal yakni kapal naik haji. Pada masanya dulu, berdasarkan cerita didapat, warga diwajibkan membeli saham pembelian kapal guna dapat menunaikan rukun Islam kelima tersebut.
Seperti diungkapkan Armia bin Mahyiddin tentang keberangkatan ayahnya menunaikan ibadah haji di tahun 1965 silam. Bermodal dengan pembelian lima saham seharga Rp 500 per sahamnya, keberangkatan haji kemudian menjadi terlaksana.
Armia yang menemui wartawan di Sekber Jurnalis Aceh, Rabu (4/4), menceritakan, pada tahun 1965 lalu, ongkos naik haji sebesar Rp 50.000. Sebagai seorang pedagang, Mahyiddin (ayah Armia), tentu saja bisa membayar ongkos haji tersebut.
“Tapi kemudian ada beberapa pejabat, seperti cerita ayah saya, datang dan mengatakan, bisa naik haji tapi harus beli saham untuk pembelian kapal keberangkatan ke Mekkah,” tutur Armia menceritakan kembali pengakuan ayahnya yang sudah almarhum di tahun 90-an lalu.
Sebelumnya diceritakan Armia, sama dengan saat kini, ada pembagian kuota untuk keberangkatan. Tapi dulu sistimnya dengan ambil undian. “Saya ikut dulu waktu ambil undian. Ayah, satu dari lima warga Aceh Besar yang saat itu dapat undian (kuota) berangkat haji.”
Begitu mendapat nomor keberangkatan, sang ayah kemudian memenuhi kewajiban pembayaran ongkos haji sebesar Rp 50.000. “Itu dulu, setahu saya, panitianya dari kabupaten. Setelah kepastian mendapat nomor inilah, ada yang datang minta ayah untuk beli saham pembelian kapal, kalau memang benar ingin naik haji. Dikatakan, kalau gak beli saham kapal, tak bisa berangkat haji,” terangnya lagi.
Tak ingin niat naik haji dibatalkan, oleh sang ayah saham kapal pun dibeli. “Satu saham harganya seratus rupiah, tapi harus beli beli lima, jadi 500 rupiah,” ujar Armia sambil menunjukan lembaran saham yang dibeli.
Saham dibeli berdasarkan lembar saham yang ditunjukan dikeluarkan oleh PT Arafat nomor 000102. Pada lembar atas saham yang dikeluarkan pada tanggal 1 Djanuari 1969, tertulis ayat Alquran tentang menunaikan haji yakni surat Ali Imran ayat 97.
Tertera juga, untuk pembelian kapal, yakni sebesar Rp 560.000.000 (lima ratus enam puluh juta rupiah). Terbagi atas 1.120.000 saham. Tiap saham Rp 500.
Di bagian bawah, tertera atas nama pembeli yakni Tgk Mahjidin alamat Lamtinipung, Tangkeb, Darussalam, Banda Atjeh. Saham ditandatangani Direktur Utama PT Arafat, Brig Djen TNI Roeshan Roesli.
Mengenai tanggal pengeluaran saham, dua tahun setelah keberangkatan, Armia menyebutkan, tidak mengetahui kenapa hal tersebut terjadi. “Karena waktu itu, ayah saya merasa, niat naik haji jangan sampai batal hanya karena saham yang dia pun tak sebelumnya apa itu saham,” terangnya lagi.
Ayahnya berangkat haji naik kapal yang dibeli dari Freeport (pelabuhan bebas) Sabang. Armia ikut mengantar keberangkatan sang Ayah pada saat itu. “Waktu itu, sudah banyak yang naik kapal untuk haji. Ayah dapat tempat di dek atas,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut disampaikannya, maksud dia bersama anaknya (M Zaki) ikut mengekspos adanya pembelian saham kapal keberangkatan haji, hanya untuk mengetahui bagaimana sebenarnya tentang perusahaan yang menjual saham dan nilai saham yang diperkirakan sudah naik tersebut.
Dikatakan M Zaki, diangkatnya persoalan saham kapal haji ini, setelah mereka gencarnya pemberitaan Nyak Sandang beli pesawat pertama RI. Kemudian mereka juga mendengar pemerintah Aceh juga kini sedang memfasilitasi keberadaan obligasi-obligasi yang ada di tangan warga Aceh.
“Kami hanya ingin tahu bagaimana nilai saham yang dibeli oleh kakek saya ini. Apa tanggung jawab perusaahaan (PT Arafat) tentang hal ini. Kemudian apakah pemerintah dapat memfasilitasi terkait ini,” pungkas M Zaki. (min)