Pelatihan Menulis Isu Kesehatan Sesuai KEJ
BANDA ACEH (RA) – Permasalahan kesehatan merupakan hal sangat mendesak bagi masyarakat. Namun banyaknya ketidaktahuan bagaiman memperoleh pelayanan kesehatan yang benar, malah menjadi polemik hingga terkadang membuat gaduh.
Hal ini diakui dua pembicara dari dunia kesehatan di Banda Aceh, yakni Direktur RSUD Meuraxa, dr Fuziati, Sp Rad dan Kepala UPTD Puskesmas Baiturrahman, dr. Suraiya.
Keduanya mengungkapkan hal tersebut pada gelaran acara pelatihan jurnalistik “Menulis Isu-Isu Kesehatan Dalam Pemberitaan Sesuai Dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)” yang digagas Forum Jurnalis Perempuan Indonesia-Aceh (FJPI), dilaksanakan di Kantor AJI Banda Aceh, Sabtu (21/4).
“Isu kesehatan dalam pemberitaan sudah cukup baik, tapi di era JKN ini, masyarakat masih belum, seluruhnya memahami prosedur untuk datang berobat ke rumah sakit. Sering kali mereka pergi berobat kerumah sakit, datang tanpa membawa identitas apapun, dan masyarakat ini ditolak. Begitulah prosedurnya,” terang dr Fuziati.
Ia mengatakan, ada persepsi keliru di masyarakat terkait berobat gratis. Pasalnya masih ada masyarakat yang terpaksa ditolak pihak rumah sakit karena tidak membawa kartu identitas. Pasien yang berobat beranggapan, layanan kesehatan gratis dari pemerintah dapat mereka peroleh meskipun tanpa membawa KTP.
“Pihak media juga harus menginformasikan kepada masyarakat, sebenarnya berobat ke rumah sakit itu bukanlah gratis. Pemerintahlah yang membayar iyuran untuk masyarakat yang datang berobat. Sehingga rumah sakit tetap bisa melakukan pelayanan lebih baik,” terangnya lagi.
Pada kesempatan yang sama, dr Suraiya, dari Pukesmas Baiturrahman mengatakan, sebenarnya membawa KTP pun, belum pula menyelesaikan pendataan. Sebab, ada dari masyarakat yang membawa KTP tapi, saat nama dan nomor identitas dimasukkan kelayar komputer, ternyata data mereka tidak ada sebagai penerima layanan kesehatan seperti JKN misalnya.
“Sekali, dua kali, pasien yang tidak bawa kartu identitas kami terima. Dan mereka kami dorong untuk melengkapi data itu saat kembali berobat. Tapi jarang sekali yang melakukan prosedur,” kata dr Suraiya.
Ia melanjutkan, masyarakat juga harus berobat, di mana ia terdaftar berdasarkan KTP yang mereka miliki. Jika tak mengikuti hal tersebut, maka itu sama saja dengan mengambil hak berobat orang lain dalam satu puksemas misalnya.
“Terkadang ada, pasien yang datang mereka minta rujukan untuk berobat ke rumah sakit. Padahal penyakit mereka salah satu item yang cukup ditangani Puskesmas. Nah, ini kemudian berkembang menjadi kabar di kalangan masyarakat, kita menahan rujukan diminta masyarakat. Ini saya harap dipahami para wartawan,” ungkapnya.
Menanggapi ini, Adi Warsidi, mantan Ketua AJI, perlu ada pemahaman kepada para jurnalis untuk lebih peduli terhadap isu-isu informasi kesehatan seperti yang disampaikan pihak rumah sakit.
“Yang menarik ditulis itu, bukan hanya soal kasus yang terjadi, di rumah sakit, penyelewengan, atau adanya kematian yang dianggap mencurigakan. Bukan hanya soal kasus-kasus, tapi juga soal informasi lainnya. Informasi seperti yang disampaikan pihak rumah sakit tadi, juga penting untuk dikedepankan,” imbau Ketua AJI.
Ketua FJPI Aceh, Saniah LS berharappelatihan tentang isu-isu kesehatan inidapat menambah wawasan jurnalis di Banda Aceh, terutama mengenai apa-apa yang tidak boleh dilanggar saat peliputan, karena rumah sakit punya kode etik, begitu pula dengan jurnalis.
“Kita berharap dengan adanya forum seperti ini dengan mendatangkan narasumber langsung dari rumah sakit, pihak rumah sakit dapat memahami tugas jurnalistik, dan jurnalis juga mengetahui kode etik pihak rumah sakit. Saling memahami kode etiknya dan kerja masing-masing, saya pikir ke depan tidak ada permasalahan lagi,” kata Ketua FJPI Aceh. (min)