BANDA ACEH (RA) – Data pemilih disabilitas mental atau gangguan jiwa, hingga saat ini belum terhimpun. Hari ini, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh akan gelar rapat koordinasi dengan KIP kabupaten/kota.
“Kita Insya Allah akan melaksanakan Rakor dengan kabupaten/kota. Untuk melakukan penyisiran kembali terkait dengan (data) pemilih dengan kondisi yang disabilitas mental,” jelas Anggota Komisioner KIP Aceh, Munawarsyah, Senin (3/11).
Belum adanya data pemilih disabilitas mental, dikarenakan pendataan pemilih merujuk kepada Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik dan Kartu Keluarga (KK). Sedangkan di KTP dan KK, tidak disebutkan atau dijelaskan anggota keluarga mengalami disabilitas mental atau tidak.
“Jadi, KK kita kan tidak menjelaskan kalau ada anggota keluarga yang disabilitas mental. Jangankan disabilitas mental, disabilitas fisik pun tidak disebutkan dalam KK. Karena basis pendataan pemilihkan dengan KTP elektronik berbasiskan KK,” jelasnya.
Dalam rapat koordinasi dan rapat kerja dengan kabupaten/kota, KIP Aceh akan mengarahkan KIP daerah, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemilihan Suara (PPS) untuk melakukan penyisiran terhadap jumlah disabilitas mental di setiap kabupaten/kota.
KIP juga bekerjasama dengan pihak terkait untuk mempercepat pendataan. Seperti Dinas Sosial (Dinsos). Selain itu, berkerjasama dengan kecamatan hingga tingkat desa. Sebab, banyak keluarga yang tidak melaporkan anggota keluarganya mengalami disabilitas mental.
“Mungkin itu harus turun ke desa-desa untuk menanyakan PPS kita, yang mengerti dimana ada warganya yang mengalami disabilitas mental. Baik itu yang masih dirawat di rumah, atau yang di kabupaten/kota berkerjasama dengan Dinsos yang mengetahui,” lanjut Munawarsyah.
Di tingkatan kabupaten/kota, pihak Dinsos menjadi mitra yang mengetahui dan menginformasikan, berapa jumlah penyandang disabilitas mental yang di rawat di rumah-rumah disinggah. Sedangkan di provinsi, KIP Aceh melakukan koordinasi dengan Dinsos dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Lebih jauh, saat ditanyai bagaimana kriteria kongkrit disabilitas mental. Terkait itu, pihak KIP Aceh merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XIII/2015.
“Jadi KPU kan melayani, kondisi disabilitas mental ini sesungguhnya dasar pijakan KPU itu pada putusan MK 135.
Yang menyatakan bahwa pemilih dalam kondisi gangguan jiwa atau disabilitas mental itu hanya dapat memilih, pada saat hari pemilihan dalam kondisi yang sehat,” jelasnya.
Pendataan pemilih disabilitas dilakukan juga karena sebelumnya, ada rekomendasi Bawaslu RI dan para pemerhati pemilu, agar KPU dan seluruh pihak terkait, mendata pemilih disabilitas mental. Hal tersebut dilakukan, semata-mata agar mereka tidak kehilangan hak pilihnya.
Terkait ketentuan dan mekanisme pemilihan disabilitas mental, akan diatur dalam ketentuan pungut hitung. Mereka itu akan dikeluarkan surat bahwa oleh pihak terkait, apakah sudah sehat ataupun masih sakit. Bila belum sehat, maka ia tidak bisa memilih.
“Bagi mereka yang sudah sehat kembali, sudah beraktivitas dan berbaur di masyarakat, asal mereka terdaftar di DPT ya bisa memilih.
Kalau dinyatakan di surat keterangan atau surat hasil pemeriksaan kesehatan kejiwaan oleh dokter yang menyatakan bahwa belum sehat. Dengan sendirinya, tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Dikarenakan dia tidak cakap,” sebutnya.
Ketika disinggung bagaimana dengan disabilitas mental yang baru sembuh, apakah secara mekanisme diatur dan bisa didampingi (keluarga) saat mencoblos. Dikatakan Munawarsyah, ketentuan pastinya akan diatur dalam PKPU pemungutan suara.
Yang pasti, mereka yang memilih adalah yang sudah cakap dan tidak lagi menjadi ancaman masyarakat lainnya.
Pro dan kontra di masyarakat terkait kebijakan pendataan disabilitas mental yang rawan disalah gunakan. KIP Aceh menghimbau semua pihak untuk tidak berpolemik.
“Ngak usahlah kita berpolemik. Karena ada orang bilang bahwa KPU atau KIP akan mendata orang gila. Ini yang bilangnya gila atau KIP-nya yang gila? Karena yang didata itu bukan orang gila.
Yang didata itu adalah memastikan pemilih yang dalam disabilitas mental sudah masuk dalam data pemilih, dan dia dapat menggunakan hak pilihnya, sepanjang dia sudah sehat,” Pungkasnya. (mag-81/mai)