PENELITI kegempaan dan tsunami asal luar negeri menyoroti bencana tsunami yang terjadi di Selat Sunda, khususnya persoalan tidak adanya peringatan dini dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Mengutip laman NBCNews, sesaat lalu (Senin, 24/12), Direktur Pusat Penelitian Gempa Dan Tsunami, Universitas California Selatan Costas Synolakis menyatakan tsunami yang menerjang wilayah pantai di sekitar Selat Sunda tersebut, bukanlah tsunami pada umumnya yang terjadi.
Di mana, sambung Costas, diawali dengan aktivitas tektonik atau gempa bumi yang terdeteksi lewat aktivitas seismik, sehingga dimungkinkan muncul peringatan.
“Ini bukan tsunami biasa. Tetapi tsunami vulkanik, sehingga tidak memicu adanya peringatan. Jika dilihat dari sudut pandang itu, pusat peringatan tsunami tidak berguna,” ujar Costas.
Belakangan, tsunami yang terjadi di sekitar wilayah pesisir di Selat Sunda disebabkan Gunung Anak Krakatau yang aktif sejak Juni.
Setidaknya ada dua teori yang menyebabkan letusan memicu tsunami, yakni tanah longsor di bawah air atau semburan lava cair yang menyebabkan perpindahan.
Kendati demikian para ahli mengatakan kemungkinan besar gelombang dipicu oleh tanah longsor.
Costas menyebut, ini bukan pertama kalinya Anak Krakatau menyebabkan kerusakan di Indonesia. Pada tahun 1883, sambungnya, gunung berapi itu menghancurkan wilayah yang sama selama masa aktivitas gunung berapi.
Costas melanjutkan, karena dekatnya Anak Krakatau dengan pantai, tsunami pada Sabtu (23/12) kemungkinan jeda waktunya antara 20-30 menit setelah terjadi aktivitas volkanologi.
“Ini tidak terduga, terjadinya letusan itu dapat menciptakan longsoran yang identik sama dengan letusan 175 tahun yang lalu,” demikian Costas. [jto/rmol/ra]