Dalam Kajian Sejarah Politik
Ulama berarti orang yang berpengetahuan, ilmuan, sarjana, pakar, atau ahli dalam bidang ilmu agama Islam. Dahulu di Aceh “ulama” meme- gang peranan penting baik itu dalam bidang sosial, agama, dan Politik.
Di Aceh, ulama disebut teungku, seseorang dapat disebut teungku melalui belajar di dayah atau rangkang (pesantren) yang jauh dari tempat kelahirannya (meuda-
gang). Ulama Aceh sebagai Qadhi
Kepala Agama (Syaikhul Islam)
Kerajaan Islam di Aceh Darussalam, saat Sultan Iskandar Muda memerintah, dia memilih Syaikh Sham al-Din Al-Samatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti
(syaikh al-Islam) bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Meskipun demikian, al-Samatrani tidak hanya sebagai penasehat agama, tetapi juga dilibatkan
dalam urusan politik.
Selain itu , Nuruddin Ar-Ran- iri, juga pernah dipilih sebagai Qadhi Al-Malik al-Adil dan mufti Muqaddam pada periode Sulthan Iskandar Tsani. Beberapa tahun berikutnya, pada masa Tajul Alam bSafiatuddin. Al-Raniry digambarkan sebagai sosok yang hebat.
Pemimpin Laskar Jihad
Bukanlah suatu hal yang aneh kalau sejak awal ulama Aceh sangat berperan dalam perang Aceh.
Peran mereka semakin meningkat, terutama sekali pada saat peran pemerintahan kesultanan dan pimpinan pada tingkat sagoe dan nanggroe telah berkurang.
Pada waktu Sultan Muhammad Daud Syah hendak menyerah, beliau meninggalkan pesan bahwa pimpinan kerajaan dan perjuangan diserahkan kepada Panglima Polem
dan Ulama Tiro, ini berarti bahwa pimpinan untuk saat Aceh genting seperti ini, terletak pada Ulama Tiro atau ulama pada umumnya.
Dengan demikian, para Ulama Aceh sejak dari awal peperangan tetap aktif mengikuti perjuangan. Beberapa Ulama Aceh terdahulu yang terlibat langsung dalam perang Aceh antara lain yaitu:Tgk. Chik Kuta Karang, Tgk. Maaz di Tiro, Tgk. Cot Plieng, Tgk. Chik
Pante Kulu, Tgk. Di Mata Ie dan Tgk. Chik Tanoh Abee.
Kesimpulan
Posisi sentral dan peran strategis ulama kita terda- hulu, sebagai panutan kepada kita saat ini, kualitas moral yang baik diperlihatkan dan dicontohkan para ulama mencerminkan nilai dan peradaban suatu bangsa, umat Islam dan bangsa Indonesia kini sedang mengalami gelombang transformasi, terjadi arus pergulatan dan pergumulan nilai dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan Politik.
Pentingnya peran politik ulama bukan tanpa dasar dan historis. Sejak awal masa Islam, kekuasan politik dan kekuasan keagamaan berada pada satu tangan,yakni ditangan baginda yang mulia Nabi Muhammad SAW dan itu terus berlanjut pada masa pemerintah al-Khulafa’ar-Rasyidin dan Dinasti Umayyah.
Malah gagasan penyatuan kekuasaan politik dan keagamaan tersebut berkembang lebih lanjut pada masa Dinasti Abbasiyah.
Maka pada periode inilah muncul konsep“raja sebagai bayang-bayang tuhan di
muka bumi “ZillAllahfil al-Ard.” Belajar dari sejarah terdahulu dan melihat dari kondisi bangsa saat ini, sudah saatnya para ulama khususnya di Aceh dan pada umumnya di Indonesia untuk merebut peran strategis kekuasaan politik, paling tidak di era pemilu ini, para ulama dapat memberikan pertimbangan kepada masyarakat agar tidak salah dalam memilih eksekutif dan legislatif, agar tidak menyesal selama lima
tahun ke depannya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28)
Berdasarkan Firman Allah di atas, Saya yakin dan percaya bahwa sebaik pendapat dan pertimbangan adalah pendapat dan pertimbangannya mayoritas para ulama, karena para Ulama adalah orang yang sangat takut kepada Allah, maka ketika para ulama memutuskan sesuatu tentu bukan berdasarkan hawa nafsunya, karena ini berseberangan dengan
Syariat Allah dan Rasulullah SAW.
Tgk. Muhammad Dar, M.Pem.I
Alumni Program Magister Politik Islam UIN Medan dan
Ketua Rabithah Alumni Dayah Darul Huda