Harianrakyataceh.com – Kebakaran pabrik korek gas di Binjai seakan membuka mata bahwa pengawasan ketenagakerjaan masih lemah. Komisi IX DPR berjanji merevisi Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Janji itu disampaikan Ketua Komisi IX Dede Yusuf kemarin (22/6). Dia mengungkapkan, UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah menimbulkan masalah karena memberikan kewenangan pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah provinsi (pemprov). Padahal, pengawas lapangan dari pemprov kurang bisa menjangkau industri maupun badan usaha yang diberi izin oleh bupati/wali kota. “Kami sedang meminta pemerintah untuk menarik kembali pengawas ketenagakerjaan ke kabupaten/kota. Komisi IX juga merencanakan merevisi UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang K3,” kata Dede kepada Jawa Pos kemarin.
Dede belum bisa menjelaskan secara terperinci poin-poin revisi UU itu. Namun, dia menegaskan, akan ada pengetatan sanksi jika pengusaha melakukan pelanggaran terhadap K3. “Kalau di UU sekarang, sanksi denda hanya Rp 1 juta. Kami mau minimal Rp 1 miliar atau pidana,” tegasnya.
Menurut Dede, jika kewenangan pengawasan sudah kembali ke kabupaten/kota, dinas-dinas tersebut punya kebebasan untuk menyusun sendiri tim. Saat ini hanya ada 10-20 pengawas ketenagakerjaan di setiap provinsi. Jumlah tersebut terlalu kecil jika dibandingkan dengan wilayah pengawasan yang mencapai puluhan kabupaten/kota. “Tidak perlu lagi dari provinsi. Nggak akan efektif juga,” katanya.
Sebelumnya, pengawas ketenagakerjaan ditarik ke provinsi karena persoalan profesionalitas. Pengawas dianggap kerap tidak independen dan cenderung “dikendalikan” kepala daerah. Namun, Dede menganggap semua satuan kerja perangkat daeÂrah (SKPD) memiliki potensi yang sama. “Tentu ada sanksi menanti kepala daerah yang menyalahgunakan kewenangannya,” jelas Dede.
Revisi UU K3 akan memuat peraturan tentang batasan usaha yang pemiliknya harus mematuhi K3. Usaha apa pun, baik besar maupun kecil yang mempekerjakan pegawai lebih dari 10 orang, kata Dede, wajib mematuhi aturan K3. “K3 ini urusan pekerjanya, bukan konteks industri,” ingatnya.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menegaskan, kebakaran pabrik macis di Binjai adalah bukti bahwa pemerintah gagal mengambil pelajaran dari kebakaran pabrik petasan di Kosambi, Tangerang, pada Oktober 2017. “Kebakaran di Kosambi tidak menjadi momentum para pengawas ketenagakerjaan untuk berbenah. Baik secara sistem, kelembagaan, kualitas, maupun kuantitasnya,” katanya. Menurut Timboel, pengawas ketenagakerjaan tidak melakukan pengawasan secara aktif. Mereka hanya menunggu laporan, baru turun ke lapangan. Kejadian di Binjai menjadi prestasi buruk pemerintah di sektor ketenagakerjaan.
Timboel menyebutkan, pabrik macis di Binjai mirip dengan Kosambi yang ilegal dengan area kerja tertutup untuk umum. Meskipun belum jelas apakah pabrik di Binjai memiliki izin atau tidak, menurut Timboel, tidak sulit mendeteksi aktivitas tempat kerja semacam itu.
Timboel mengatakan, ada baiknya dibentuk komisi khusus yang mengawasi kinerja pengawas ketenagakerjaan.
Keanggotaan komisi tersebut sebaiknya bersifat tripartit. “Kami juga pernah mengusulkan agar pengawas ketenagakerjaan independen dari kementerian maupun dinas ketenagakerjaan. Tapi, kami mendapat banyak perlawanan,” katanya.
Editor : Ilham Safutra
Reporter : (tau/c7/oni)