harianrakyataceh.com (RA) – Dalam dua bulan terakhir tercatat total gempa yang terjadi di Indonesia angkanya meningkat. Selama Juni 2019 terjadi 735 kali gempa. Dan meningkat menjadi 841 kali pada Juli. Dari seluruh kejadian, empat gempa bumi bersifat destruktif.
Gempa-gempa tersebut terjadi di Maluku Utara dengan magnitudo 7,1 pada 7 Juli, gempa Sumbawa magnitudo 5,5 pada 13 Juli, gempa Bali magnitudo 6 pada 16 Juli, dan terakhir gempa Banten magnitudo 6,9 pada 2 Agustus.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut ancaman gempa di Indonesia memang cukup banyak. Bahkan gempa Sunda megathrust yang membentang sepanjang 200-250 kilometer di laut lepas pantai barat Sumatera bisa terjadi sewaktu-waktu.
“Itu adalah ancaman riil. Ancaman nyata yang bisa terjadi,” kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono di kantor BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (3/8).
Ancaman itu juga membentang di sepanjang Laut Jawa, berlanjut ke Bali, dan ke arah timur. Kemudian ada di sisi Utara Papua serta dari sumber himpitan sesar Pasifik.
“Kalau itu kekuatannya besar dan sumber gempanya dangkal, tentunya bisa sangat memungkinkan terjadinya tsunami,” imbuh Rahmat.
Dengan kondisi tersebut, masyarakat yang tinggal di sepanjang jalur pertemuan lempeng tektonik harus selalu waspada. Sampai saat ini, lanjut Rahmat, belum ada teknologi apapun yang mampu memprediksi gempa terjadi.
“Sehingga dimohon kebijaksanaan masyarakat memahami bencana di daerah masing-masing, kemudian memahami jalur evakuasi, paham yang harus dilakukan saat bencana datang, kemudian setelah dan sebagainya,” tegasnya.
Mengantisipasi bencana tersebut datang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun sudah mulai mengambil langkah pencegahan. Saat ini yang tengah berjalan yaitu sosialiasi kepada masyarakat melalui ekpedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) yang digelar dari Banyuwangi hingga Banten.
“Jadi desa-desa di pinggir pantai harus dibangun menjadi desa-desa tangguh bencana, mereka tahu cara responnya, mereka paham potensi bencana ada apa aja, cara evakuasi seperti apa,” kata Plt Kapusdatin dan Humas BNPB, Agus Wibowo.
Bangunan di sekitar bibir pantai juga akan diajarkan supaya tahan gempa. Sehingga tidak membahayakam warga. Menurutnya sejauh ini, masih banyak bangunan yang belum sesuai standar kegempaan. Akibatnya ketika bencana datang kerusakan yang ditimbulkan cukup besar.
BPNB juga telah ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menjadi koordinator membangun hutan pantai. Opsi ini dipilih karena anggaram yang dibutuhkan lebih terjangkau dibanding membangun tanggul anti tsunami.
Pembangunan hutan pantai saat ini sudah dikerjakan di dua tempat. Yakni di dekat New Yogyakarta International Airport dan di dekat Bandara Minangkabau, Padang. Nantinya hutan pantai ini akan dimasifkan di daerah rawan bencana.
“Hutannya tahun ini mulai, sampai tahun depan karena hutan butuh waktu lama untuk bisa besar. Bisa 20 tahun, 10 tahun, puluhan tahun dan sudah mulai ditanam Maret lalu,” imbuhnya.
Di sisi lain, Agus mengatakan, dari peta kegempaan, wilayah selatan yang membentang dari Sumatera sampai Jawa memang salah satu yang rawan terjadi gempa besar. Bahkan berpotensi terjadi gempa megathrust dengan magnitudo mencapai 8,8. Dan berpotensi tsunami dengan tinggi gelombang 20 meter.
Menurutnya lempeng Australia dan Asia yang menghimpit area selatan bergerak setiap tahun yakni 5-6 cm. Namun, belum bisa dipastikan kapan gempa megathrust ini akan terjadi.
“Sama (kerawanan gempanya), jalur selatan memang ada ancaman megathrust. Di Papua ada, di Sulawesi ada. Karena ada lempeng di sana juga,” ungkap Agus.
Meski begitu, BNPB menghimbau masyarakat tidak khawatir, dan menerima kenyataan bahwa wilayah Indonesia memang rawan terjadi gempa. Oleh karena itu, pengetahuan tentang kegempaan mutlak harus dimiliki warga yang tinggal di pesisir. Selain itu, bangunan tempat tinggal juga harus dibangun kokoh sesuai standar kegempaan.
“Kita harus menyesuaikan. Prinsip penanggulangan bencana itu, pertama jauhkan bencana dari manusia. Kalau nggak bisa jauhkan orangnya. Kalau masih nggak bisa kita harus hidup harmoni, sehingga infrastuktur harus menyesuaikan,” pungkas Agus. (Jawa Pos)