BANDA ACEH (RA) – Anggota DPD RI Perwakilan Aceh Drs Ghazali Abbas Adan menyorot dan mempertanyakan pengalokasian APBA 2020 sebesar Rp32 miliar kepada Lembaga Wali Nanggroe yang di pimpin oleh PYM Malek Mahmud.
Dari laporan masyarakat yang diterimanya, anggaran sebanyak itu ditengarai akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah.
“Sekaitan dengan pengesahan APBA 2020, ada informasi dari masyarakat bahwa untuk Malek Mahmud dengan mengatasnamakan Lembaga Wali Nanggroe, anggarannya mencapai Rp 32 milyar. Anggaran yang cukup fantastis ini akan digunakan untuk kebutuhan rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah. Sungguh besar sekali jumlah anggarannya,” kata Ghazali Abbas, Kamis (26/9/2019)
Anggota Komite IV DPD RI yang membidangi keuangan dan anggaran itu menjelaskan dalam NKRI ini segala hal menyangkut tatakelola pemerintahan sudah ada aturannya, termasuk berkaitan dengan tata kelola keuangan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam pasal 23 ayat 1 UUD Negara RI Tahun 1945 sangat jelas arahannya, dimana setiap sen pengelolaan dan pemanfaatan anggaran haruslah dapat dipertanggungjawabkan dan transparan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
“Dalam elaborasinya harus melalui e-planning, e-budgeting, e-reporting dan e-controling. Dan dalam waktu yang bersamaan legislatif dan eksekutif selaku pihak yang diberikan amanah untuk mengatur dan mengelola anggaran itu tidak boleh sesukanya menjalankan fungsinya itu. Dan haruslah setiap sennya diperuntukkan sesuai kebutuhan dan dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Selain itu juga harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Ghazali Abbas.
Mantan Abang Jakarta ini menambahkan hingga sekarang Aceh masih ditempatkan sebagai daerah dengan ranking pertama paling miskin se Sematera dan ranking keenam di Indonesia. Walaupun demikian masih saja melakukan pemborosan dengan mengalokasikan anggaran kepada lembaga yang tidak jelas kerjanya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, yakni setahun mencapai Rp 32 miliar atau Rp 32 ribu juta, yang berarti setiap bulannya lebih kurang 2.500 juta rupiah.
“Uang rakyat sebanyak itu hanya digunakan untuk kebutuhan rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah. Yang menjadi tanda tanya besar adalah dengan siapa dilakukan koordinasi dan ke daerah mana melakukan konsultasi. Selain itu apa manfaat dan kemaslahatan yang didapatkan rakyat dari rapat-rapat dan koordinasi ke luar daerah tersebut,” tanya Ghazali Abbas.
Menurut Ghazali Abbas, sejatinya Malek Mahmud harus secara transparan menjelaskan kepada rakyat manfaat anggaran tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan uang rakyat itu. Dan semestinya pula DPRA yang juga memiliki tupoksi kontrol, dapat memanggil Malek Mahmud ke gedung DPRA paling kurang sekali setiap akhir tahun untuk melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dan diminta pertanggungjawaban atas kinerjanya menggunakan uang rakyat, yakni sejauh mana dibutuhkan, memberi manfaat dan kemaslahatan bagi rakyat.
“Dengan demikian fungsi e-planning, e-budgeting, e-reporting dan e-controling dapat diterapkan terhadap pengelolaan uang rakyat, termasuk uang rakyat yang dipergunakan oleh Malek Mahmud itu,” ungkap Ghazali Abbas.
Mantan anggota DPR RI ini menjelaskan adalah bentuk pelanggaran konstitusi negara yang sangat nyata, bahkan menurut syariat Islam adalah perbuatan maksiat apabila legislatif dan eksekutif Aceh mengalokasikan anggaran untuk hal-hal yang tidak dibutuhkan. Selain itu juga tidak memberi manfaat dan kemaslahatan bagi rakyat banyak serta tidak pula diminta pertanggunggjawaban pemanfaatannya dari setiap anggaran itu.
“Apabila hal demikian dilakukan berarti legislatif dan eksekutif Aceh bermain-main dalam pengelelolaan uang rakyat, alias meucuca dengan uang rakyat yang mengakibatkan pelanggaran konstitusi Negara. Sekaligus sebagai bentuk perilaku maksiat berkenaan dengan pengelolaan dan pemanfaatan anggaran negara itu. Na’uzubillahi minzdalik,” pungkas Ghazali Abbas. (ra)