Menu

Mode Gelap
Korban Erupsi Gunung Marapi Ditemukan 1,5 Km dari Kawah Cak Imin Resmikan Posko Pemenangan Musannif bin Sanusi (MBS) Perangkat Desa Sekitar Tambang Tantang Asisten Pemerintahan dan Dewan Lihat Objektif Rekrutmen Pekerja PT AMM Golkar Aceh Peringati Maulid Nabi dan Gelar TOT bagi Saksi Pemilu Ratusan Masyarakat Gurah Peukan Bada Juga Rasakan Manfaat Pasar Murah

UTAMA · 3 Oct 2019 06:40 WIB ·

Nestapa Para Pengungsi Kerusuhan Wamena Motor Hangus Terbakar, Kabur Lewat Plafon


 PUJI TYASARI/JAWA POS  KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN: Ahmadi (dua dari kanan) bersama sesama pengungsi dari Wamena di Asrama Transito Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Timur Minggu (29/9). Perbesar

PUJI TYASARI/JAWA POS KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN: Ahmadi (dua dari kanan) bersama sesama pengungsi dari Wamena di Asrama Transito Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Timur Minggu (29/9).

Awal pekan minggu keempat September menjadi hari tak terlupakan bagi para warga pendatang yang tinggal di Wamena, Papua. Batas antara hidup dan mati rasanya begitu tipis. Amukan massa tak terkendali. Mereka yang berhasil pulang merasa bersyukur meski hanya membawa baju yang melekat di badan.

PUJI TYASARI, Surabaya, Jawa Pos

”ABANG pulang! Balik. Mau matikah?” Teriakan tersebut ditujukan kepada Ahmadi. Saat itu, Senin (23/9) pagi, Ahmadi hendak mengantar seorang siswa SMP berusia sekitar 14 tahun. Di sebuah jalan menuju kompleks Olala, Wamena, Papua.

Ahmadi bekerja sebagai tukang ojek. Namun, hari itu dia memilih libur. Naik motor hendak pulang ke rumah, dalam perjalanan dia bertemu siswa SMP itu. Anak tersebut ingin diantar pulang. ”Abang ojek ya?” tanya si siswa. ”Tidak Adik, saya mau pulang,” ujar Ahmadi saat ditemui di Asrama Transito Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Timur Minggu (29/9).

Siswa SMP itu masih merajuk. Meminta diberi tumpangan. Ahmadi yang hendak ke kediamannya di Jalan Homhom merasa iba. Dia lantas memboncengkan bocah tersebut.
Padahal, lokasi yang diminta bocah itu melewati rumah Ahmadi.

Di perjalanan, laki-laki asal Sampang, Madura, tersebut dikagetkan suara teriakan orang-orang yang menyuruhnya putar balik. Sebab, di depan sana kerusuhan itu terjadi.

Ahmadi kaget. Dia juga melihat laki-laki berbaju putih tergeletak di depan sebuah mal yang baru berdiri satu tahun.

Teriakan orang-orang yang menyuruhnya putar arah semakin keras. ”Dia kena parang. Tampaknya sekuriti mal,” ujar Ahmadi mengenang kerusuhan di Wamena.

Ahmadi akhirnya putar balik. Tujuannya adalah rumah. Si bocah diturunkan. ”Saya bilang, ’Anak turun sini ya. Banyak orang lari-lari. Cari perlindungan ke sana ya’,” kata Ahmadi. Si bocah itu mengangguk. ”Iya Bapak, terima kasih,” katanya.

Ahmadi pulang. Di dalam rumah, semua orang berkumpul. Ada 21 orang di dalam rumah itu. Sesama warga perantauan asal Sampang. Semua juga merasakan kekhawatiran atas terjadinya kerusuhan. Apalagi, rumah berlokasi persis di pinggir jalan raya. Jika ada demo, kata Ahmadi, para pendemo rentan masuk ke dalam rumah-rumah di pinggir jalan.

Kekhawatiran itu terjadi. Ahmadi dan kawan-kawannya mencari tempat persembunyian. Para aparat datang. Ada pula anggota Brimob. Namun, mereka kewalahan.

Massa merangsek dengan busur, anak panah, batu, dan parang. Mereka juga siap dengan jeriken.

”Itu yang pertama dibakar mal. Mereka mendesak aparat. Aparat kalah. Gas air mata tidak mempan. Pas titik terakhir di depan rumah kami. Saling lempar batu.”

Tidak jauh dari tempat tinggal Ahmadi, ada kios penjual bensin. Pedagangnya orang Wonogiri, Jawa Tengah. Kios tersebut dibakar. Setelah itu sasarannya adalah tempat tinggal Ahmadi yang merupakan warga pendatang. ”Rumah kami didobrak,” ucapnya.

Rumah tersebut memanjang dengan tiga pintu. Pintu pertama, kata Ahmadi, terkunci. Massa mendobraknya. Ruang tamu dibakar. Pintu kedua didobrak, tapi tidak bisa. Namun, ada satu celah papan yang kena dobrakan. Dari situ Ahmadi melihat kebakaran.

Massa berteriak agar para penghuni keluar. ”Kami sembunyi di atas plafon,” ujarnya.
Ashari, rekan Ahmadi, berada di rumah yang sama ketika kerusuhan terjadi. Mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri, mereka keluar lewat belakang rumah. Membobol plafon.

Lalu meloncat. ”Massa itu bukan puluhan. Ratusan orang. Mereka teriak-teriak. Saya herannya mereka pakai seragam. Tapi bukan anak-anak sekolah,” papar pria yang juga bekerja sebagai tukang ojek tersebut.

Ashari melihat 21 motor di rumah itu dibakar. Motor-motor tersebut merupakan kendaraan untuk mengojek. Peristiwa yang terjadi sekitar pukul 09.00 itu sangat menakutkannya.

Massa mengintai para pendatang. Mereka yang berasal dari Makassar, Jawa, Toraja, atau Batak dibunuh. ”Alhamdulillah, teman-teman Madura 95 persen selamat,” ujarnya.

Mereka yang selamat lari ke gunung. Menunggu bantuan penyelamatan. Pada Kamis (26/9) pertolongan datang. Pesawat Hercules mulai mengangkuti para pengungsi. ”Prioritas ibu-ibu dan anak-anak dulu,” katanya.

Mereka pun turun gunung mendatangi Bandara Kargo Wamena dan mendaftar untuk pulang. Selama perjalanan, Ashari dan rekan-rekan transit di Timika, lalu Biak dan Makassar. Mereka bermalam di mes TNI Angkatan Udara, lalu keesokan paginya dijemput untuk berangkat ke Semarang.

Minggu lalu Ashari, Ahmadi, dan rekan-rekan lainnya tiba di Surabaya pukul 13.10. Pemprov Jawa Timur memfasilitasi mereka untuk pulang ke daerah asal.

Ashari menyayangkan peristiwa kerusuhan tersebut. Sebab, hubungan dengan masyarakat lokal selama ini sejatinya sudah berjalan dengan baik.

Abdul Qodir, pengungsi asal Mojokerto, tidak kapok jika suatu saat bisa kembali ke Wamena. Apalagi, dia sudah sebelas tahun bekerja di sana. ”Kalau sudah reda mau kembali ke Wamena. Karena ada tanggungan di sana. Termasuk, saya punya mobil di sana. Mobil diamankan di mapolres,” ucapnya.

Qodir mengatakan, tidak semua warga di sana berlaku kasar. Ada juga yang baik. Sudah tinggal belasan tahun di Wamena membuatnya bersahabat dengan warga sekitar.

”Saya dilindungi orang sana juga. Karena saya sudah lama di sana sehingga dilindungi juga sama orang sana. Ada yang namanya Konai di sana. Dia bilang, ’Kamu di sini saja. Kalau kamu mati, saya juga mati’,” ungkapnya.

Saat ini Qodir bersyukur bisa pulang dalam keadaan selamat. Meski tidak dapat menyelamatkan harta benda dan hanya membawa pakaian yang melekat di raga. (jpg/min)

Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Ditlantas Polda Aceh dan IMBI Aceh Bagikan Sembako dan Takjil

28 March 2024 - 19:06 WIB

Kapolda Aceh Perintahkan Jajarannya untuk Tindak SPBU Nakal

28 March 2024 - 17:27 WIB

Kemenhub RI Diingatkan Soal UUPA Dibalik Rencana Pengurangan Bandara Internasional

28 March 2024 - 00:00 WIB

Pj Gubernur Dampingi Menko PMK Kunjungi Warga Penerima Bantuan Pemerintah

27 March 2024 - 22:21 WIB

Upaya Stabilitasi Harga, Pemkab Aceh Besar Gelar Bazar Pangan Murah di Simpang Tiga

27 March 2024 - 17:42 WIB

Pj Bupati Aceh Besar dan Kapolresta Banda Aceh Launching Kampung Bebas Narkoba di Lheu Blang

27 March 2024 - 17:34 WIB

Trending di UTAMA