Oleh: Rusmadi
Pat ujen nyang hana pirang, Pat prang nyang hana reda. Pat narit nyang hana salah. Menyoe ken awai pasti bak dudoe.
Artinya, di mana perang yang tidak reda, di mana hujan yang tidak berhenti, di mana perkataan yang tidak salah, kalau tidak diawal pasti diakhir.
Mungkin puisi ini patut kita pahami kembali, di mana sebuah permasalahan pasti ada jalan keluarnya.
Begitu juga dengan kemiskinan Aceh, banyak para pakar, pengamat dan tokoh bicara soal pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penurunan angka kemiskinan.
Sebuah daerah dengan penduduknya di bawah garis kemiskinan maka ketika itu pula berbagai kalangan mulai menyorot keseriusan pemerintah dalam memberikan kesejahteraaan rakyatnya.
Belum lagi apabila daerah tersebut terdapat beberapa potensi alam bila dikelola dengan baik maka akan mendapatkan hasil yang baik pula dan itu akan dikelola dan menjadi kekayaan negara.
Kemiskinan yang masih di alamatkan kepada provinsi Aceh, bagian barat dari dari Indonesia ini karena praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) belum bisa dihilangkan. Sehingga korupsi sebagai salah satu penyebab masyarakatnya miskin ditambah lagi tingkat pengangguran yang tinggi.
Data BPS Aceh tingkat kemiskinan mencapai 15,1 persen. Terlepas dari senang atau tidaknya, ada yang bertanya bagaimana data yang yang digunakan BPS. Kita tahu, BPS sebagai lembaga resmi negara sudah teruji dalam merilis setiap inflasi yang terjadi, harga kebutuhan masyarakat maupun pertumbuhan ekonomi.
Saya melihat banyaknya para pakar dan pengamat serta diskusi yang dilaksanakan untuk mencari solusi atau alternatif tidak ada salahnya. Namun perlu ada axtion dalam menanganinya. Bukan terus menerus berdebat di ruang ber ac.
Selama ini, saya melihat diskusi yang dilakukan kadang kurangnya tidak mengeluarkannya rekomendasi rekomendasi. Ada manfaat rekomendasi tersebut supaya bisa disampaikan kepada pemerintah dari diskusi tersebut.
Misalnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) FEB Universitas Syiah Kuala, menggelar diskusi dengan tema Arah Kebijakan Ekonomi Aceh. Kegiatan tersebut dihelat pada Sabtu (29/2/2020) di Warkop Gampong Gayo, Darussalam, Banda Aceh.
Pemateri hadir yaitu Kepala Bank Indonesia Provinsi Aceh Zainal Arifin Lubis, SE. Dia berbicara tentang indikator makro ekonomi di Provinsi Aceh.
Pemateri selanjutnya yaitu Dr. Amri, SE, M.Si., akademisi ekonomi di Unsyiah, yang bicara tentang indeks daya saing Aceh dan strategi pembangunan ekonomi di 23 kabupaten/kota di Aceh.
Rektor Unimal, Dr. Herman Fithra, ST. MT., IPM, ASEAN., Eng. Direktur IDeAS, Munzami HS. Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TKP2K) Aceh, Edi Fadhil.
Diskusi ini bukanlah yang pertama dan yang terakhir, artinya yang pertama sudah sering dilakukan lembaga atau ormas yang melakukam kajian tersebut. Dan yang terakhir, kajian atau diskusi ini tetap harus kontinyu tidak boleh terhenti di tengah jalan.
Sebelumnya diskusi tentang potensi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan strategis pengentasan kemiskinan di Aceh, dilaksanakan HMI FEBI Unsyiah, pematerinya melibatkan beberapa pemateri andal yang paham di bidangnya. Dan diskusi ini juga berlangsung di tempat yang sama. Di antara pematerinya, Pakar Ekonom Aceh, Dr. Amri. Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin, Ketua Prodi Jurusan FEBI Unsyiah. Tokoh Barsela, Nurchalis dan menghadirkan 5 pemateri lainnya. Kegiatan ini sama dilaksanakan di Warung Gayo, Rukoh, Darussalam pada Sabtu (8/2/2020).
Belum lagi diskusi yang digelar di instansi pemerintahan, Bank Indonesia, Gedung Keuangan Aceh, Perguruan tinggi, dan sebagainya.
Menurut hemat penulis diskusi ini perlu dilakukan untuk mencari solusi dan mengurai setiap persoalan yang ada. Sehingga diskusi akan memperbaiki di mana ada kekurangan. Namun ingat axtion lebih penting di lapangan. Bantu pemerintah dalam mengatasinya mungkin selama ini ada kendala.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), saat memberikan kata sambutan pada kenduri kebangsaan di Kabupaten Bireuen, Sabtu (22/2/2020), menyampaikan dengan besaran dana otsus yang digelontorkan dapat dirasakan rakyat Aceh dan penerima manfaat harus tepat sasaran.
Sebagai pimpinan dan atasan mengingkatkan Plt Gubernur Aceh dalam penggunaan anggaran tersebut.
Sebagai Gubernur ditingkat provinsi bisa saja mengingatkan kepala daerah Walikota maupun bupati untuk menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh.
Program pro rakyat di Kabupaten Kota yang dijalankan kepala daerah, minimal bisa menurunkan 1 persen angka kemiskinan setiap tahun. Kalau program ini berjalan maka Aceh tidak lagi dikatakan sebagai provinsi miskin.
Sebab kepala daerah di Kabupaten/Kota punya tanggungjawab moral maupun moril dalam mengentas kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan rakyat. Jadi, angka kemiskinan Aceh berada pada 15,01 persen itu akan mudah berubah dengan hasil yang memuaskan.
Sejak tahun 2008 dana otsus digelontorkan di Aceh hingga saat ini sudah mencapai 73,99 triliun. Belum lagi bagi hasil minyak dan bumi. Aceh tergolong daerah yang kaya akan hasil alam.
Menurut saya, dengan kondisi besaran uang yang beredar di Aceh, baik bersumber dari APBA, APBN ataupun lainnya, belum dapat memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta pengentasan kemiskinan.
Keberadaan Industri erat kaitannya dengan penyediaan lapangan pekerjaan, sehingga penampungan tenaga kerja dapat mengurangi angka kemiskinan suatu daerah, mendirikan UMKM dan pemberdayaan sektor pertanian, kelautan dan perkebunan.
Saya melihat permasalahan kemiskinan ini ada itikad baik ke arah positif dari pemerintah Aceh dalam upaya penurunan angka kemiskinan dan menurunkan angka pengangguran di bumi serambi mekkah ini.
Pada kesempatan ini, Deputi Bank Indonesia Provinsi Aceh, T. Munandar, pernah menyampaikan, berbicara mengenai kemiskinan, kita tidak bisa menumpukan kesalahan hanya pada satu pihak, seperti misalnya Pemerintah Provinsi. Dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi saat ini, setiap level kepemerintahan memiliki peranan dalam perekonomian daerah, melalui anggaran dan kewenangan yang dimilikinya. Mulai dari pemerintahan desa, kabupaten, dan juga provinsi. Selain itu, banyak pihak lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung juga memberikan andil terhadap terciptanya kemiskinan, sebut saja lembaga legislatif baik DPRA maupun DPRK yang bertugas mengawal proses penyusunan anggaran dan juga mengawasi pelaksanaannya.
Aparat penegak hukum pun dapat menjadi pihak yang terlibat atas terjadinya kemiskinan, apabila tidak melakukan penegakkan hukum atau pemberian hukuman yang berat kepada para koruptor yang telah mencuri uang rakyat dari APBA, APBK, dana desa, atau di pos lainnya, sehingga tujuan keberadaan anggaran tersebut yang seharusnya dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat menjadi tidak tercapai. Masih banyak elemen masyarakat lainnya yang bila kita telusuri lebih dalam ternyata memiliki andil dalam terjadinya kemiskinan, termasuk masyarakat biasa yang sebenarnya tergolong memiliki kemampuan ekonomi, namun menerima bantuan atau membeli barang subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin.
Dalam hal ini saya mengajak semua pihak untuk tidak berkutat pada siapa yang harus disalahkan atas terjadinya kemiskinan. Lebih baik kita duduk bersama untuk mencari solusi agar kemiskinan dapat berkurang. Lakukan diagnosa atau identifikasi, apa yang harus dilakukan agar pendapatan masyarakat miskin meningkat, dan bagaimana menjaga stabilitas harga barang/jasa, sehingga masyarakat dapat memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak atau di atas garis kemiskinan. Dari pengamatan yang kami lakukan, terdapat beberapa hal yang menurut hemat kami dapat menjadi solusi dalam pengentasan kemiskinan, yaitu :
1. Mendorong sektor swasta sebagai motor penggerak perekonomian Aceh. Sebesar apapun dana otonomi khusus ataupun anggaran pemerintah, tidak akan cukup untuk memberantas kemiskinan. Peranan sektor swasta melalui pendirian industri menengah dan besar akan menciptakan lapangan pekerjaan sehingga masyarakat memiliki pendapatan untuk membiaya kebutuhan hidupnya. Bila melihat data BPS terakhir, tiga provinsi yang memiliki angka kemiskinan terendah di Indonesia adalah DKI Jakarta (3,42%), Bali (3,61%), dan Kalimantan Selatan (4,47%). Provinsi-provinsi tersebut (kecuali DKI Jakarta sebagai ibukota negara) memiliki APBD jauh di bawah Aceh yaitu sekitar tujuh triliunan Rupiah, dengan jumlah penduduk yang tak jauh berbeda dengan Aceh, yakni empat jutaan orang.
Lalu bagaimana dengan anggaran yang tidak besar tersebut, Bali dan Kalsel dapat menjaga angka kemiskinan hanya single digit. Salah satu penyebabnya adalah hidupnya sektor swasta di kedua provinsi tersebut. Data BPS menunjukkan jumlah industri menengah dan besar di Bali mencapai 382, sementara Kalsel 154, jauh di atas Aceh yang hanya 54 industri. Oleh karenanya, penting untuk mengoptimalkan peranan sektor swasta dalam perekonomian Aceh, melalui pendirian industri-industri, utamanya industri pengolahan.
2. Untuk menggerakkan roda perekonomian Aceh, tidak cukup bila hanya mengandalkan anggaran yang ada di Aceh. Diperlukan sumber pembiayaan lainnya dari luar Aceh, yaitu dalam bentuk investasi, baik dalam negeri maupun asing. Masuknya investasi utamanya di sektor riil, akan menciptakan lapangan kerja baru, serta menambah akumulasi perputaran uang di Aceh. Semakin banyak uang berputar di Aceh, maka akan semakin besar multiplier efek tercipta, yang akan memberikan dampak positif pada perekonomian masyarakat.
3. Untuk meningkatkan inevestasi, maka perlu dilakukan pembenahan iklim investasi di Aceh, sehingga Aceh memiliki daya saing yang tinggi bila dibandingkan provinsi lainnya. Laporan penelitian Lee Kuan Yew School of Public Policy dari National University of Singapore yang diterbitkan tahun 2017 mengenai daya saing provinsi di Indonesia menyebutkan Aceh menduduki peringkat 25 dari 33 provinsi di Indonesia. Tentunya hasil penelitian tersebut dapat menjadi catatan penting bagi Pemerintah dan stakeholder terkait lainnya di Aceh agar dapat melakukan perbaikan di berbagai bidang, sehingga daya saing Aceh menjadi lebih baik.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan diantaranya: 1) menciptakan regulasi yang ramah terhadap investor; 2) konsistensi kebijakan sehingga memberikan kepastian kepada investor; 3) adanya insentif dan kemudahan khusus bagi investor sektor tertentu; 4) peningkatan skill tenaga kerja Aceh sehingga memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan; 5) kondisi keamanan dan sosial yang kondusif.
Kami meyakini bila iklim investasi yang kondusif dapat tercipta, investor akan berbondong-bondong masuk ke Aceh, mengingat potensi sumber daya alam yang dimiliki dan letak strategis geografis Aceh yang berada di jalur perdagangan laut dunia. Bila investasi marak, maka lapangan kerja tercipta, sehingga kemiskinan semakin berkurang.
4. Mendorong berdirinya pusat-pusat penelitian di Aceh, khususnya di sektor pertanian. Keberadaan pusat penelitian dapat menciptakan inovasi yang bermanfaat dalam peningkatan produktivitas dan penciptaan nilai tambah bagi hasil produksi Aceh.
Sebagai contoh Atsiri Reseacrh Centre (ARC) yang dimiliki Universitas Syiah Kuala saat ini, telah memberikan manfaat besar dalam pengembangan produk nilam Aceh. Bayangkan bila banyak berdiri pusat riset lainnya seperti pusat riset padi, kopi, ikan, udang, dan komoditas unggulan Aceh lainnya, maka akan banyak lahir inovasi berupa lahirnya varietas baru tanaman pertanian, munculnya produk turunan, ataupun terciptanya teknologi produksi yang menjadikan komoditas unggulan Aceh memiliki nilai tambah dan lebih produktif.
Dengan status pertanian sebagai sektor ekonomi terbesar yang memberikan kontribusi dalam PDRB Aceh, serta merupakan sektor yang memiliki tenaga kerja dengan angka kemiskinan terbesar, maka inovasi yang dapat menghasilkan nilai tambah di sektor pertanian menjadi sangatlah penting.
5. Pemberdayaan UMKM sebagai sektor yang selama ini menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Selain berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi, keberadaan UMKM juga menjadi solusi mengatasi kemiskinan.
Pemda melalui kebijakan dan anggaran yang dimilikinya, dapat memberdayakan UMKM diantaranya melalui pemberian kemudahan berusaha bagi UMKM, peningkatan kapasitas, perluasan akses pasar dan pembiayaan, serta pemanfaatan teknologi untuk penguatan usaha UMKM. Tentunya pemda tidak dapat berjuang sendiri, perlu dukungan dari berbagai pihak dalam pemberdayaan UMKM. Namun yang terpenting adalah adanya koordinasi dan kolaborasi berbagai pihak sehingga program pemberdayaan UMKM dapat terarah, terintegrasi, dan berdampak signifikan.
Pemberantasan dan pencegahan korupsi dengan konsisten, masif, dan bersunggu. Sebagaimana kita ketahui, korupsi merupakan praktek yang sangat merusak dan merugikan kehidupan perekonomian masyarakat. Selama korupsi masih marak, maka sulit bagi suatu daerah untuk berkembang ekonominya. Dalam penelitian KPK tahun 2019, ada enam provinsi di Indonesia juara dalam kasus kejahatan korupsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten, Papua dan Papua Barat.
Untuk mengatasi permasalahan korupsi, salah satunya adalah dengan menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas tata kelola keuangan pemerintah. Selain itu, penegakkan hukum yang tidak pandang bulu juga menjadi faktor kunci pemberantasan korupsi.
Demikian beberapa strategi yang menurut kami dapat dilakukan untuk pengentasan kemiskinan di Aceh. Tentunya masih banyak strategi lainnya yang dapat dilakukan. Semoga dengan sinergisitas berbagai pihak, kemiskinan di Aceh lambat laun semakin berkurang, amin. Wallahu ‘alam bissawab.
Penulis adalah Redaktur Harian Rakyat Aceh.