REDELONG (RA) – Perkumpulan Umah Sunting Pirak (PUSP) Aceh, kembali mengunjungi kediaman korban pemerkosaan anak di bawah umur pada Jumat (11/9) lalu.
Ketua PUPS Aceh, Railawati, kepada Rakyat Aceh menyampaikan, melakukan kunjungan ke rumah keluarga korban bertujuan untuk mendengarkan langsung peristiwa yang menimpa korban serta memastikan hak-hak korban dan keluarga terpenuhi.
Berdasarkan hasil penelusuran katanya, seorang pelaku Z (16) masih dalam masa penanguhan tahanan karena terlibat dalam kasus pemerkosaan lebih dari satu orang pada bulan Agustus 2020 lalu.
Menurutnya, pelaku tersebut juga merupakan anggota geng rape sehingga, pihak keluarga mengaku khawatir jika dilakukan teror bagi keluarga korban.
Untuk itu, PUSP meminta agar pemerintah daerah untuk tetap komit dalam pendampingan korban khususnya perempuan dan anak. “Kami dari Perkumpulan Umah Sunting Pirak siap bersinergi bersama pemerintah setempat,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam proses penegakan hukum, Sunting Pirak mengingatkan kepada aparat penegak hukum untuk berhati-hati dalam mengambil kesimpulan tentang upaya hukum (penangguhan penahanan) atau bentuk apapun yang menempatkan pelaku dapat berkeliaran dan mengulangi tindak pidana yang sama yang akhirnya sangat merugikan korban dan juga menimbulkan korban-korban baru yang lain.
Sebutnya, Sunting Pirak merasa sangat prihatin karena pengawasan yang lemah. “Secara statistik kita mengetahui bahwa Bener meriah merupakan wilayah dengan angka kekerasan seksual yang memprihatinkan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, seharusnya penanganan psikologi bagi korban semestinya sudah diberikan sejak awal kasus ini ditangani sehingga korban dan keluarga korban mendapatkan layanan psikologi/psikiatri sehingga korban dan keluarganya merasa nyaman.
“Peran P2TP2A dalam hal ini sangat diharapkan untuk dapat meningkatkan koordinasi dalam penanganan kasus dan memastikan pendampingan efektif dan hak-hak korban dapat terpenuhi,” tegas Railawati.
Selain itu kedepannya juga katanya sangat dibutuhkan sosialisasi oleh pemerintah dan institusi hukum yang cukup kepada masyarakat tentang penerapan hukum dalam payung hukum Qanun Jinayah bagi pelaku pemerkosaan yang merupakan kebijakan khusus di Aceh.
“Korban sering merasa tidak cukup terlindungi dari pelaku pemerkosaan apabila pelaku mendapat hukuman cambuk dan itu yang selama ini menjadi momok bagi masyarakat dan khususnya korban,” jelasnya.
Selain itu katanya, khususnya bagi pelaku anak perlu adanya upaya yang sangat serius dari APH dan institusi hukum untuk memastikan bahwa dalam lembaga pemasyarakatan anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini dapat direhabilitasi dan dipastikan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Dari pengakuan pihak keluarga korban dan Reje Kampung setempat, jiwa korban masih dalam keadaan terguncang dan secara langsung korban mengatakan malu sambil menangis, karena teman-temanya semua sudah tahu apa yang dialaminya,” kata Railawati.
Lanjutnya akibatnya saat ini korban juga takut keluar rumah dan saat ini korban belum sangup untuk mengikuti proses belajar mengajar.
Selain korban jelasnya, ibu korban yang dalam kondisi stroke juga bertambah menderita karena ikut juga tertekan. “Apabila ada tamu ibu korban panik dan meminta pintu rumah untuk segera di tutup dan saat ini kondisi ibu korban lumpuh total dan sangat sulit untuk bergerak dan mengurus kebutuhannya sehari hari,” terangnya.
Selain itu pihaknya juga mengaku sangat menyayangkan sejak awal korban diperiksa sudah didampingi oleh petugas P2TP2A dan tidak lagi didampingi pada saat sidang agenda saksi. “Jadi pendampingan dari P2TP2A itu ada namun tidak sampai pada persidangan,” pungkasnya. (uri/bai)