BANDA ACEH (RA) – Tahun ini perdamaian Aceh memasuki tahun ke-15. Dibanding dengan masa-masa sebelum perdamaian, tentu ada banyak perkembangan yang terjadi di Aceh selama proses perdamaian ini, baik itu dari sisi demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, politik, keistimewaan Aceh dan lainnya.
Namun tidak semua perkembangan itu sesuai harapan yang diinginkan masyarakat. Dalam perspektif lain, ada yang menganggap perdamaian itu masih belum sesuai dengan konsep pembangunan yang diinginkan. Pandangan ini muncul setelah melihat banyaknya anggaran pembangunan yang mengalir untuk Aceh, tapi hasil yang diperoleh belum seperti yang ditargetkan.
Berdasarkan data tersebut Forum LSM Aceh, menggelar Refleksi 15 Tahun Perdamaian Aceh Antara Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat. Kegiatan ini berlangsung di salah Hotel di Banda Aceh, Rabu (25/11).
“Sebagai contoh, pasca perdamaian 2005 Aceh mendapat dana dana otonomi khusus selama 20 tahun, terhitung 2008 hingga 2027 sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sampai tahun 2019, Aceh telah menerima Dana Otsus berkisar Rp 73 triliun,” ujar Sekjend Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan, dalam sambutannya.
Atau jika dirata-ratakan, setiap tahun Aceh mendapat dana Otsus berkisar Rp 8 triliun. Jika ditotalkan dengan APBA, anggaran pembangunan Aceh setiap tahun lebih dari Rp 23 triliun. Belum lagi anggaran pembangunan yang bersumber dari APBN.
Tidak heran jika ada yang mengatakan kalau dana yang mengalir untuk Aceh pasca perdamaian cukup besar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah aliran dana itu telah mampu melahirkan banyak perubahan untuk Aceh?
Sebagaima harapan yang berkembang di masyarakat, setidaknya ada tiga perubahan besar yang terjadi di Aceh pasca perdamaian, yaitu, pertama, terwujudnya perdamaian yang hakiki tanpa menghadirkan kembali konflik baru antara Aceh dan Jakarta; Kedua, terciptanya kesejahteraan masyarakat yang indikatornya dapat dilihat dar tingka kemiskinan dan gini rasio; dan ketiga, adanya sistem penanganan korban konflik yang bijak untuk dapat mereduksi benih dendam yang pernaha ada.
Setiap orang tentu saja punya cara pandang yang berbeda dalam menilai tiga elemen di atas. Untuk masalah konflik Aceh dan pusat misalnya, bisa jadi ada yang menganggap sudah tidak ada lagi. Tapi sebagian tetap melihat potensi itu masih ada, terutama jika melihat sengketa bendera Aceh yang sampai sekarang belum jelas. Bendara itu sudah disahkan di tingkat daerah, tapi tidak disetujui oleh Pemerintah Pusat. Jika ini terus berlarut, bukan tidak mungkin masalahnya semakin rumut.
Sementara untuk masalah kesejahteraan rakyat, Aceh tetap saja menjadi sorotan karena tingkat kemiskinan di daerah ini masih tinggi. Bahkan Aceh merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera atau tertinggi ke-5 di Indonesia setelah Papua, NTT, Maluku dan Gorontalo. Artinya, dana jumbo yang mengalir untuk Aceh belum mampu meningkatkan kesejahteraan tersebut.
Apalagi jika melihat system penanganan korban konflik, Aceh sepertinya bergerak di tempat. Terkesan korban konflik itu dilupakan begitu saja. Benar bahwa Pemerintah Aceh telah membentuk KKR untuk melakukan pencatatan terhadap kasus kekerasan di masa lalu, tapi nyatanya keberadaaan KKR itu bagaikan ada dan tiada, sehingga penanganan korban konflik belum menunjukan kepastian.
Tiga inilah yang akan diangkat sebagai topic bahasan dalam sebuah seminar berkaitan dengan refleksi 15 tahun perdamaian Aceh. Sejumlah nara sumber dan tokoh yang berkompeten akan diundang hadir pada seminar ini, sehingga hasilnya diharapkan bisa memberikan pencerahan kepada public tentang pencapaian Aceh selama 15 tahun pasca perdamaian. (rus)