Menu

Mode Gelap
Korban Erupsi Gunung Marapi Ditemukan 1,5 Km dari Kawah Cak Imin Resmikan Posko Pemenangan Musannif bin Sanusi (MBS) Perangkat Desa Sekitar Tambang Tantang Asisten Pemerintahan dan Dewan Lihat Objektif Rekrutmen Pekerja PT AMM Golkar Aceh Peringati Maulid Nabi dan Gelar TOT bagi Saksi Pemilu Ratusan Masyarakat Gurah Peukan Bada Juga Rasakan Manfaat Pasar Murah

OPINI · 3 Dec 2020 18:02 WIB ·

Politik Boh Labu, Politik Asoekaya


 SUMBER : BAPPEDA ACEH Perbesar

SUMBER : BAPPEDA ACEH

KITA punya pengalaman hidup miskin, tapi kita belum punya pengalaman mengentaskan kemiskinan, sebagai rezim Aceh pasca MoU Helsinki, 2005. Hal ini dapat kita lihat pada data seri yang dikeluarkan Bappeda Aceh.

Artinya, sebagian kita hidup miskin yang meroket dari 15,20% hingga 32,60% di periode konflik (2000-2005). Lalu, kemiskinan dalam konflik ditimpa oleh bencana gempa-tsunami, tapi di lain pihak Aceh mendapat dana rehabilitasi dan rekonstruksi dari seluruh penjuru dunia 106 triliun rupiah sehingga kemiskinan turun drastis dari 32,60% menjadi 21,80% (BRR, 2005-2009).

Sedangkan penurunan kemiskinan pada periode Pemerintahan Aceh dengan APBA 72 triliun antara tahun 2008-2020 adalah dari 23,53% (2008) menjadi 14,39% (2020). Dengan catatan 2008-2009 ada sharing anggaran antara BRR dan APBA dalam mempengaruhi turunnya angka kemiskinan di Aceh.

Kalau dilihat dari faktor penyebab kemiskinan, maka sangat besar pengaruh struktural, atau dapat disimpulkan bahwa kemiskinan di Aceh dalam periode itu adalah kemiskinan struktural. Kalau dibaca dengan perspektif Alfian, Tan, Soemardjan, 1980, maka meskipun Aceh telah damai, dan rezim dipegang oleh para pejuang, baik di eksekutif maupun di legislative, tapi sebagian masyarakat Aceh masih mendapat kendala untuk meraih peluang dalam menggunakan sumber-sumber ekonomi yang tersedia di masa perdamaian.

Dari 4 periode kepemimpinan Aceh pasca konflik (2007-2020), maka angka kemiskinan rata-rata turun hanya 0,89% per tahun. Meskipun dari 72 triliun dana Otsus harus dialokasikan untuk pembiayaan: (i) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, (ii) Pemberdayaan ekonomi rakyat, (iii) Pengentasan kemiskinan, (iv) Pendanaan pendidikan, (v) Sosial, dan (vi) Kesehatan.

Apabila kemiskinan struktural yang dialami oleh sebagian masyarakat Aceh itu tidak segera terentaskan, maka bukanlah hal mustahil kemiskinan rakyat Aceh akan bertransformasi menjadi kemiskinan kultural. Jika mengacu pada Koentjaraningrat maka di dalam diri sebagian masyarakat Aceh akan terekonstruksi mentalitas (budaya) miskin.

Lalu, mari kita membayangkan bagaimana kondisi generasi Aceh pasca konflik itu ketika Indonesia berada di dalam dasawarsa bonus demografi 2020-2030, yang mana penduduk usia produktif mencapai 70%.

Mereka yang dibesarkan di Aceh pasca konflik adalah generasi yang sebagian lahir dan dibesarkan dalam kondisi kemiskinan, misalnya dikandung dan dibesarkan dalam kondisi stunting, kekurangan gizi dalam waktu lama yang menghambat pertumbuhan fisik dan otak. Merekalah yang akan berada, dan mungkin akan memimpin di dalam peiode 2020-2035 yang diperkirakan merupakan era bonus demografi di Aceh.

Akan lebih tragis lagi, andaikan terulang konflik Aceh, tentunya mereka bukanlah generasi yang setangguh generasi sekarang yang memegang kendali di legislative dan eksekutif Aceh.

Juga generasi yang terus-menerus mempolitiking MoU Helsinki, di antaranya soal bendera, dan dengan trik politik menyalahkan Jakarta; sementara tetangganya sendiri, yang di masa konflik memberi nasi bungkus untuk mereka berjuang dan membantu menyembunyikan mereka di dalam telekum, ternyata hidup dalam kemiskinan, dan anak-anaknya dibesarkan dalam kondisi stunting.

Mari kita mencanangkan sejak 4 Desember 2020 ini, bahwa rakyat Aceh menolak politik boh labu (misalnya, bendera), dan mengikhtiarkan politik asoekaya (misalnya, kesejahteraan)!

*Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

10 February 2024 - 20:33 WIB

Peran Medsos Sebagai Alat Kontrol Sosial dalam Pemerintahan Era Reformasi

20 January 2024 - 10:27 WIB

Mohd Riswan R: Dari Bencana Melahirkan Kearifan Lokal Smong

27 December 2023 - 15:17 WIB

Tsunami Aceh, Catatan Pahit Mengukir Kebangkitan dan Perubahan

26 December 2023 - 17:43 WIB

Alquran Efek, Pasca Perhetalan MTQ ke – 36 Simeulue

16 December 2023 - 20:58 WIB

Tangis dan Doa Pengungsi Rohingya Setelah Ditolak Mendarat di Aceh

17 November 2023 - 14:45 WIB

Trending di OPINI