Menu

Mode Gelap
Klasemen Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026, Timnas Indonesia Gagal Melesat ke Posisi 2 Aiyub Abbas Percayakan Estafet Bangun Pidie Jaya Pada Said Mulyadi Kasus Dugaan Penyiraman Cabai di Aceh Barat Berakhir Damai Belum Penuhi Janji, Masyarakat Desa Karieng Kecewa Kepada Kajari Bireuen Ramai Kombatan GAM di Aceh Barat Condong Mendukung Hakam-Ayi 

EKBIS · 3 Apr 2021 12:35 WIB ·

Sawit Indonesia Percaya Diri Hadapi Diskriminasi Uni Eropa


 Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket Perbesar

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket

HARIANRAKYATACEH.COM –  Di tengah transisi menuju energi terbarukan, Uni Eropa terus mendiskriminasi sawit. Dengan dalih mencapai nol emisi karbon pada 2030, sawit sering didiskreditkan sebagai minyak nabati yang tidak ramah lingkungan. Padahal sawit merupakan minyak nabati paling sustainable dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang.

Kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang merupakan bagian dari green deal policy , melalui skema indirect Land Use Change (ILUC) mengecualikan sawit karena dianggap beresiko tinggi menyebabkan deforestasi. Padahal penelitian Union of Concervation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan.

Cut of date yang ditetapkan dalam ILUC yakni tahun 2008 dinilai tidak fair Negara-negara di benua biru tersebut telah terlebih dahulu melakukan deforestasi masif di era revolusi Industri. Penelitian Roser (2012) bahkan menyebutkan deforestasi yang dilakukan di Eropa kemudian Amerika Utara menyebabkan penurunan luas hutan dunia secara signifikan termasuk biodiversity loss didalamnya.

Menanggapi hal tersebut, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia mengajukan gugatan atas ke World Trade Organization (WTO) yang dianggap mendiskreditkan komoditas sawit.

“Seluruh minyak nabati di dunia harus memiliki standar pendekatan yang sama dan diakui PBB yakni dengan berbasis Sustainable Development Goals (SDGs),bukan satu atau dua indikator yang dikarang-karang, tidak diakui dunia dan tidak akademis,” Tegas Wakil Mentri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam webinar Inapalmoil beberapa waktu lalu.

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket mengungkapkan Komisi Uni Eropa sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan pada bulan Juni tahun ini. Dengan melakukan penelitian ilmiah yang ektensif khususnya untuk komoditas minyak sawit sebagai bagian dari Green Deal. Vincent meyakinkan bahwa dampak terdapak industri minyak sawit ataupun minyak nabati lainnya, akan didasarkan pada penilaian yang adil berbasis ilmiah.

RED II merupakan hasil amandemen dari kebijakan sebelumnya memiliki kriteria keberlanjutan yang salah satunya mengatur perhitungan emisi gas rumah kaca pada perubahan penggunaan lahan secara langsung. “Tidak akan ada pelarangan impor minyak sawit atau biofuel. Tidak sekarang, tidak pada 2023 bahkan di 2030,” ujar Vincent.

Perundingan terus berlangsung, baik antar negara maupun tingkat kawasan. Indonesia maupun Uni Eropa mendorong kerjasama yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan menjelaskan Daya saing yang tinggi yang dimiliki oleh komoditas sawit tidak mengkhawatirkan posisinya di pasar global. Fadhil Hasan mengaku pelaku usaha juga mampu beradaptasi melalui berbagai sertifikasi, mulai dari sertifikasi yang dimiliki oleh pasar seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun negara yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

“Selain itu, Indonesia juga memiliki leverage tinggi serta pasar terbesar di ASEAN. Menguasai Setengah dari populasi di wilayah ASEAN, menjadikan Indonesia sebagai regional leader sehingga berpengaruh berpengaruh bagi perekonomian dunia. Hal ini menjadi bargaining power dalam perundingan bilateral maupun multilateral,” ujar Fadhil Hasan.

Fadhil Hasan menyoroti pendekatan diplomasi trade and sustainable development (TSD) yang digunakan dalam perundingan. Menurutnya, penting untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan sehingga mampu untuk mengakomodir seluruh kepentingan kedua bela pihak, terutama pada perjanjian Comperhensive Economic Partnership Agreement (CEPA) untuk menghindari regulasi lain diluar daripada yang telah diatur dalam CEPA karena akan menjadi hambatan dagang lainnya.

Hal ini diamini oleh Hikmahanto Juwana, Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia bahwasanya pasar di Indonesia merupakan kekuatan di ASEAN. Namun menurut Hikmahanto, kerjasama bilateral patut untuk didorong lebih jauh dikarenakan kepentingan masing-masing negara di ASEAN yang akhirnya mengecilkan kekuatan dan kepentingan negara. (ra)

Artikel ini telah dibaca 4 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Dari FGD Terungkap Industri Hilirisasi Sawit Aceh Terkendala Bahan Baku CPO

12 October 2024 - 08:23 WIB

Dua Pekerja SKK Migas Raih Anugerah Satyalencana Wira Karya

11 October 2024 - 20:13 WIB

Epson Perkenalkan Rangkaian Printer SureColor Terbaru, Dengan Hasil Cetak Kelas Dunia

11 October 2024 - 16:57 WIB

Touring Ribuan Kilometer, Bikers Honda Aceh Turut Hadiri Honda Bikers Day Regional Sumatera 2024

10 October 2024 - 09:52 WIB

Tahun 2025 PLN UID Aceh Siap Tingkatkan Rasio Elektrifikasi Melalui Rapat Koordinasi dengan Dinas ESDM Aceh

9 October 2024 - 16:33 WIB

Wujud Komitmen Elektrifikasi, AHM Luncurkan Honda ICON e: dan CUV e:

9 October 2024 - 15:32 WIB

Trending di EKBIS