HARIANRAKYATACEH.COM – Sebagai wujud kepeduliaannya dalam mengenang hari bersejarah bagi bangsa Aceh, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen, Rusyidi Mukhtas S Sos alias Ceulangiek menyantuni puluhan anak yatim dan menggelar doa bersama kepada para syuhada yang syahid pada masa konflik.
Kegiatan yang turut dibantu oleh jajaran Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA) Daerah III wilayah Batee Iliek Bireuen tersebut, berlangsung di Aula Kantor BKAD Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Minggu (15/8).
Ceulangiek dalam sambutanyan mengatakan, dalam rangka memperingati 16 tahun perdamaian Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI) di Finlandia Helsinki, ia mengajak seluruh jajaran KPA dan PA untuk sama-sama menjaga kekompakan dan persatuan. Ketika persatuan menjadi landasan, kehidupan kedepan akan makmur dan sejahtera.
“Mari kita perkuat kekompakan dan persatuan eks combatan GAM/KPA dan PA atas pengorbanan para syuhada terdahulu, yang telah berpulang ke rahmatuallah saat Aceh dalam masa konflik. Semoga para saudara kita ditempatkan disisi Allah Swt,” ujarnya.
Paska perdamaian GAM-RI, sebutnya, kita kembali dalam masyarakat melalui reintergrasi dan berjuang melalui Partai Lokal. Hari ini merupakan refleksi sejauh mana langkah perjuangan bangsa Aceh setelah 16 tahun damai.
“Perdamaian ini dengan susah kita raih. Sehingga, menjadi tanggungjawab bersama menjaganya. Sudah sepatutnya kita peduli dan merawat anak syuhada, karena tanpa para syuhada, kita tidak akan pernah merasakan kedamaian seperti saat ini,” katanya seraya menyantuni puluhan anak yatim syuhada.
Dirinya berharap, Pemerintah Aceh dapat mendesak Pemerintah Pusat untuk segera merealisasikan seluruh butir-butir MoU Helsinki demi keutuhan perdamaian di bumi Aceh.
“Ini menjadi wewenang kita bersama, terutama DPRA dan Gubernur Aceh yang sampai saat ini terus berjuang. Terkait bendera dan butir-butir kekhususan Aceh, kawan-kawan DPRA sudah menjumpai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk mengusulkan supaya bendera Aceh bisa dikibarkan setiap tanggal 15 Agustus. Tapi nyatanya, realitas politik yang kita hadapi saat ini berbanding terbalik dengan butir-butir yang sudah tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh,” tegas Ceulangiek dengan nada berorasi.
Hari ini, sebutnya tegas, kita belum sepenuhnya merdeka atas perdamaian tersebut, karena masyarakat belum bisa menaikkan bendera Aceh dalam peringatan MoU Helsinki. Padahal, semua kekhususan Aceh termasuk pengibaran bendera, sudah diatur dalam buti-butir UUPA. Namun, pihak DPRA masih bernegosiasi dengan pusat dalam memperjuangkan bendera, lambang dan himne Aceh.
“Dana otsus yang dirasakan bangsa Aceh hari ini, merupakan hasil dari perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimasa konflik. Namun, masih banyak masyarakat kelaparan dan khususnya para pejuang terdahulu dengan kehidupan yang memprihatinkan. Sudah menjadi rahasia umum, dana tersebut hanya dinikmati oleh oknum pejabat yang tak ikut andil dalam perjuangan. Sedangkan para eks kombatan GAM yang dijanjikan dalam butir-butir MoU Helsinki akan dialokasikan tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak, sampai saat ini belum terealisasi,” pungkasnya.
Dibalik itu semua, Ketua DPRK Bireuen menilai kinerja Gubernur Aceh Nova Iriansyah, merupakan salah satu pemimpin yang menghancurkan perjuangan bangsa. Buktinya, Aceh memiliki kekhususan dengan pedoman UUPA. Namun, realitas dilapangan terlihat jelas bahwa Gubernur tidak mempedulikannya.
“Seharusnya, Provinsi Aceh melaksanakan gelaran Pilkada di tahun 2022 sesuai aturan dalam UUPA, namun Gubernur tidak mengalokasikan anggaran untuk Pilkada. Artinya, secara tidak langsung, Nova sudah menghancurkan kekhususan Aceh,” tegasnya. (akh)