ACEH UTARA (RA) – Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Aceh Utara, meminta bupati untuk turun tangan menyelesaikan persoalan sengketa lahan antara masyarakat Kilometer VIII Kecamatan Simpang Keuramat dengan PT Setya Agung (SA) Pasalnya, PT Setya Agung telah membuat pengaduan ke Polres Lhokseumawe atas dugaan tindak pidana penyerobotan hak atas tanah oleh Syahrizal Ir, selaku staf legal perusahaan kepada geuchik serta warga Gampong Kilometer VIII, Kecamatan Simpang Keuramat, Aceh Utara.
“Kami menilai selama ini, bupati hanya bisa berdiam diri dan membiarkan hal ini menjadi polemik berkepanjangan. Sebenarnya, ini menyangkut hak hidup rakyat yang perlu ditangani oleh pimpinan daerah,” tegas Ketua Apdesi Aceh Utara, Abubakar, dalam keterangan tertulis kepada Rakyat Aceh, kemarin.
Abubakar mengatakan, jika Pemkab tidak segera bertindak maka polimik yang terjadi antara warga dan perusahaan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan akhirnya masyarakat yang menjadi korban.
Terlebih lagi menurut pemberitaan di media berdasarkan surat PT SA, bupati telah duduk dengan management Perusahaan untuk penyelesaian sengketa tersebut, namun sampai sekarang warga tidak tahu apa yang menjadi kesimpulan dalam pertemuan itu.
“Jika pemerintah tidak hadir untuk penyelesaian sengketa ini secara parsiasif, maka jika tidak asumsi masyarakat pemimpin mereka diam bisa di artikan mendukung konflik itu berjalan secara masive dan ini jelas sangat bertolak belakang dengan visi misi Bupati Cek Mad,” ungkap Ketua Geusyik Aceh Utara ini.
Diberitakan sebelumnya, PT Setya Agung dituding telah melakukan penyerobotan lahan milik masyarakat di Gampong Kilometer VIII, Kecamatan Simpang Keuramat, Aceh Utara. Dimana, Perusahaan Perkebunan yang mulai beroperasi sejak 1981 silam dinilai telah menguasai lahan milik Gampong Kilometer VIII secara sepihak.
“Lahan itu punya masyarakat dan kami memiliki peta terhadap lahan dimaksud yakni peta wilayah desa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1880,” ucap Kepala Dusun Keuramat, Gampong Kilometer VIII Kecamatan Simpang Keuramat, Aceh Utara, Muhammad Nasir.
Menurutnya, sengketa lahan antara PT Satya Agung itu sudah berlangsung sejak 1982, namun orangtua sebelumnya tidak berani melakukan protes. Namun sejak 2018, masyarakat dengan berpatokan pada peta batas wilayah memberanikan diri untuk menggarap kembali lahan yang telah ditelantarkan dengan membabatnya (Imas) kembali untuk bercocok tanam.
“Jadi konflik antara Perusahaan dan wargapun tidak terelakkan, beberapa kali sempat terjadi mediasi untuk penyelesaian, tapi tuntutan warga tidak pernah di gubrisnya, bahkan warga sempat menahan alat berat milik PT yang sedang beroperasi dilahan yang diklaim masuk wilayah gampong,” ungkapnya.
Sementara itu, H. Tarmizi Thayeb selaku CBDO Perusahaan PT Satya Agung menyampaikan, informasi penyerobatan lahan warga oleh PT. Satya Agung adalah tidak benar dan nilai tersebut bersifat imajinatif dan asumtif belaka secara sepihak.
Disebutkan, PT. Satya Agung sangat menghormati dan menjunjung tinggi aturan yang berlaku sehingga setiap tindakan dan operasional kegiatannya dijalankan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan menghargai masyarakat disekitar lingkungan perusahaan.
“Bagi kami warga lingkungan merupakan mitra kerja. Kami berkomitmen untuk membantu perekonomian warga lingkungan dengan berbagai program, seperti memakai tenaga kerja dari lingkungan dan membangun kebun Plasma untuk warga disekitaran dilingkungan PT. Satya Agung,” ungkapnya dalam keterangan tertulis kepada Rakyat Aceh, Rabu (15/9) lalu.
Ia mengatakan, PT. Satya Agung menolak disebutkan telah menyerobot/menggarap tanah milik warga dan pihaknya tidak pernah menggunakan tanah milik warga untuk kepentingan Perusahaan. Semua lahan yang dikuasai merupakan tanah yang telah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) dan disahkan secara hukum serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang telah diperoleh sejak tahun 1981. Kemudian telah diperpanjang haknya sampai dengan tahun 2035. (arm/icm)