HARIANRAKYATACEH.COM – Meulaboh, Kamis tanggal 04 November 2021 bertempat di aula kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh melakukan advokasi rekomendasi kebijakan hasil penelitian “Evaluasi Pasca Pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) Filariasis di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh” Tahun 2021.
Ikut hadir dalam kegiatan ini Asisten Perekonomian dan Pembangunan drs. Husaini, M. Pd yang dalam hal ini mewakili Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Barat dan sekaligus membuka acara, turut hadir juga Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat Syarifah Junaidah, SKM, M. Si, perwakilan BKSDA Aceh, Bappeda Aceh Barat, dan Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Aceh Barat, serta Kepala Puskesmas para di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat.
Kegiatan ini diawali oleh sambutan Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh Dr. Fahmi Ichwansyah, S.Kp, MPH menyampaikan bahwa rekomendasi kebijakan hasil penelitian ini disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Barat untuk dapat ditindak lanjuti sebagai langkah dalam mengambil kebijakan untuk penanggulangan Filariasis di Aceh Barat. Pengendalian Filariasis diperlukan kerjasama lintas sektor diantaranya dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, DInas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Aceh Barat dan lintas sektor terkait lainnya.
Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat. Dalam sambutannya Syarifah Junaidah, SKM, M. Si menyampaikan bahwa menyambut baik advokasi rekomendasi kebijakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh sebagai dasar untuk tindak lanjut dalam penanganan kasus Filariasis di Aceh Barat.
Kemudian pembukaan acara kegiatan oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan drs. Husaini, M.Pd yang dalam hal ini mewakili Sekda abupaten Aceh Barat. Dalam pembukaannya disampaikan bahwa filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit menular dan menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena masih menjangkiti di sebagian besar wilayah Indonesia, serta dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup.
Perilaku hidup manusia menjadi salah satu faktor yang tidak dapat dipisahkan dalam menentukan seseorang akan terjangkit penyakit filariasis. Menurut data dari kementerian Kesehatan RI, terdapat 5 (lima) Provinsi dengan kasus kronis Filatriasis pada Tahun 2018, diantaranya Provinsi Papua (3.615 kasus), Nusa Tenggara Timur (1.542 kasus), Jawa Barat (781 kasus), Papua Barat (622 kasus), dan Aceh (578 kasus).
Husaini juga menyampaikan bahwa rekomendasi kebijakan yang disampaikan pada acara ini tentunya sebagai dasar pengambil kebijakan di Kabupaten Aceh Barat dalam penanganan kasus Filariasis di Kabupaten Aceh Barat.
Selanjutnya penyampaian advokasi rekomendasi kebijakan hasil penelitian oleh Yulidar, M. Si (Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh). Dalam paparannya Yulidar, M. Si menyampaikan bahwa dinamika transmisi filariasis terjadi bila ada agent (cacing filarial), vektor (nyamuk), host (manusia atau hewan) dan faktor lingkungan.
Pada wilayah yang filariasis bersifat zoonosis maka transmisi filariasis oleh vektor dapat terjadi dari manusia ke reservoir dan sebaliknya sehingga keberadaan reservoir sangat mempengaruhi penularan filariasis. Hewan yang sudah terkonfirmasi sebagai reservoir filariasis di Provinsi Aceh adalah kucing, lutung dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Berdasarkan hasil penelitian oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Kabupaten Aceh Barat tahun 2021 belum didapatkan faktor yang akan mempengaruhi (menghambat) keberhasilan program penilaian pasca pengobatan masal (TAS-1) yang akan dilaksanakan pada tahun 2022. Keberhasilan Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) Filariasis juga dipengaruhi oleh pengetahuan, perilaku dan dukungan keluarga.
Melalui paparannya, Balai Litbang Kesehatan Aceh merekomendasi suatu dasar kebijakan dalam pengendalian filariasis yaitu program surveilans (pengobatan hewan reservoir) terutama kucing domestik. Lingkup pengobatan hewan berada di Dinas Kesehatan Hewan dan program surveilans di Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
Diharapkan adanya regulasi peraturan untuk masyarakat yang memelihara kucing agar selalu memeriksa kesehatan kucing ke dinas kesehatan hewan/petugas kesehatan yang kerumah masyarakat.
Pada kesempatan ini Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh menyerahkan juga bantuan VTM sebanyak 600 set dalam rangka mendukung tracing Covid 19 di KAbupaten Aceh Barat. Bantuan tersebut diterima oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat.