Ketua JASA Bireuen : Pelaksanaan Butir-Butir MoU Helsinki Tak Bisa Diklaim Makar

Ketua JASA Wilayah Bate Iliek, Kabupaten Bireuen, Tgk Mauliadi.

BIREUEN (RA) – Polemik terkait pengibaran Bendera Bintang Bulan dan kekhususan Aceh lain yang tertuang dalam butir-butir MoU Helsinki atau perjanjian antara bangsa Aceh yang diwakili oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI), masih dianggap ilegal dan diklaim sebagai makar.

Padahal, MoU merupakan Nota Kesepahaman dan Kesepakatan yang dirumuskan bersama serta sudah terekomendasi dalam Qanun Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Ketua Jaringan Aneuk Syuhada (JASA) Wilayah Bate Iliek, Kabupaten Bireuen, Tgk Mauliadi kepada media Harian Rakyat Aceh, Minggu (19/12) mengatakan, butir-butir MoU Helsinki jangan dianggap makar, karena fungsi perjanjian tersebut sebagai trust building, yaitu membangun kepercayaan.

Disebutkan, sebagaimana tertulis dalam MoU bahwa para pihak yang terlibat dalam konflik, bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Jika salah satu pihak sudah mengalami kekurangan kepercayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang.

“Bangsa Aceh berhak melaksanakan segala butir-butir yang tertuang dalam MoU Helsinki, termasuk pengibaran Bendera Bulan Bintang yang sudah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang. Jika masyarakat merealisasikan seluruh butir-butir kekhususan Aceh, semua pihak tidak berhak melarangnya. Jangan terkesan mengkriminalisasi segala bentuk perjuangan bangsa,” tegas anak syuhada ini.

Ia juga mengaku, MoU Helsinki seharusnya juga memberikan ruang adanya referendum, sesuai yang tertuang pada poin ke 6.1.c. Namun menurutnya, daerah yang pernah dikenal dengan sebutan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ini, tidak menuntut referendum, melainkan cenderung meminta direalisasinya seluruh butir-butir perjanjian oleh RI.

“Saya tegaskan kembali, poin-poin yang tertuang dalam MoU Helsinki bukanlah makar. Bangsa Aceh harus menuntut hak-hak perjuangan, termasuk kekhususan yang diberikan dalam perjanjian setelah perjuangan. Siapapun tidak boleh dihukum jika melaksanakan butir-butir perjanjian, karena masyarakat berhak atas semua itu,” pungkas Mauliadi.

Dirinya berharap, Pemerintah Aceh dapat mendesak Pemerintah Pusat untuk segera merealisasikan seluruh butir-butir MoU Helsinki demi keutuhan perdamaian.

“Kita harus bersatu untuk memperjuangkan kekhususan Aceh yang tercantum dalam butir-butir MoU Helsinki. Aceh sudah damai selama 16 tahun, namun belum semua poin perjanjian terealisasi. Tugas kita menjaga perdamaian dan memperjuangkan segala kekhususan yang sudah kita dapatkan,” ujarnya.

MoU Helsinki, kata Mauliadi, merupakan solusi demokrasi bagi Aceh secara damai, dengan komitmen bahwa kedua belah pihak yaitu Pemerintah RI dan GAM, tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman tersebut.

“Jika salah satu tidak konsisten, maka mekanisme demokrasi lain seperti referendum dapat ditempuh. Oleh karena itu, segenap elemen bangsa Aceh mesti bersatu menuntut terealisasinya butir-butir MoU. Atau jika tidak, harus menuntut referendum diselenggarakan dan dalam hal ini, DPRA, DPR-RI delegasi dari Aceh serta senator DPD yang bertugas di pusat, untuk tidak tinggal diam karena MoU adalah amanah bangsa,” katanya.

Ia juga berharap, kepada anak syuhada dan pemuda di seluruh Aceh, supaya menuntut dan menyuarakan tentang perjanjian damai yang masih mengambang, karena memperjuangankan terealisasinya semua butir-butir perjanjian, tugas semua masyarakat. (akh)