BANDA ACEH (RA) – Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi . dan Korban (LPSK) menyerahkan kompensasi kepada sembilan orang korban terorisme masa lalu (KTML) yang berdomisili di Aceh, senilai Rp1.130.000.000.
Penyerahan kompensasi dilakukan oleh dua Wakil Ketua LPSK Brigjen Pol. (Purn.) Achmadi dan Antonius PS Wibowo bersama Gubernur Aceh Nova Iriansyah di Meuligoe Gubernur Aceh, Rabu (9/3).
Para penerima kompensasi merupakan anggota kepolisian yang menjadi korban dalam kontak senjata dengan kelompok teroris di Desa Lamkabeu Kabupaten Aceh Besar tahun 2010 lalu. 9 korban itu terdiri dari satu orang luka berat dan 8 lainnya luka ringan.
Wakil Ketua LPSK Achmadi mengatakan, keseluruhan permohonan kompensasi untuk peristiwa terorisme yang terjadi di Aceh sebenarnya berjumlah 11 permohonan. Namun, 9 orang berdomisili di Aceh, 1 orang berdomisili di Jawa Barat, dan 1 orang lagi berdomisili di Sumatera Utara
“Keseluruhan korban tersebut merupakan korban langsung atas peristiwa terorisme kontak senjata di Desa Lakambeu dan peristiwa kontak senjata di Gunung Jantho Aceh,” kata Achmadi.
Achmadi juga menyampaikan, 9 orang tersebut merupakan bagian dari 357 korban terorisme di Indonesia masa lalu yang telah berhasil diidentifikasi oleh BNPT dan dilakukan asesmen oleh LPSK, serta telah memenuhi syarat untuk memperoleh hak kompensasi sebagaimana dimandatkan dalam UU No 5 tahun 2018 dan UU 31 Tahun 2014.
Sebanyak 357 korban berasal dari 56 peristiwa terorisme masa lalu yang tersebar di 19 provinsi di Indonesia, dan WNA serta WNI yang tinggal di Amerika Serikat, Jerman, Australia, Kanada, dan Belanda.
Sementara Gubernur Aceh Nova Iriansyah dalam sambutannya
menjelaskan, Pemerintah Aceh mendukung penuh kebijakan BNPT dalam pemberian kompensasi kepada korban. Di antaranya dengan terus berupaya merumuskan berbagai kebijakan dan program yang berpihak kepada korban terorisme, termasuk kepada masyarakat Aceh yang sedikit-banyaknya merasakan imbas dalam perang melawan teroris, seperti yang terjadi di Lamkabeu, Aceh Besar.
Lebih lanjut, Nova menjelaskan, sebenarnya isu terorisme dan radikalisme di bumi Serambi Mekkah sangat jarang terjadi, bahkan nyaris tidak ada.
“Keberadaan tindak pidana terorisme yang pernah terjadi di Pergunungan Jalin, pada faktanya didominasi oleh pelaku dari luar Aceh,” kata Nova.
Kendati demikian, Pemerintah Aceh disebut tidak tinggal diam untuk menangkal berbagai potensi munculnya gerakan terorisme dan radikalisme di Aceh, melalui berbagai program pelatihan dan sosialisasi di bawah Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh bekerja sama dengan Kepolisian, BNPT, dan unsur terkait lainnya.
Selain itu, Nova juga menyebutkan, di luar keberadaan korban terorisme di Aceh, perlu diketahui bahwa masih banyak korban konflik Aceh masa lalu yang belum mendapat keadilan.
Karenanya, kata Nova, Pemerintah Aceh melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, terus berupaya menghadirkan keadilan bagi mereka dalam upaya mewujudkan keberlanjutan perdamaian.
“Pada Mei 2020 lalu, kami telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 330/1269/2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM,” ujar Nova.
Dalam putusan tersebut, ada sebanyak 245 korban yang membutuhkan reparasi mendesak yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
Di luar itu, lanjut Nova, sesuai data KKR Aceh, ada sebanyak 5.264 korban lainnya yang membutuhkan reparasi dan akan dilakukan bertahap.
Untuk itu Nova berharap, LPSK dan unsur terkait lainnya mendukung kerja-kerja Pemerintah Aceh dan KKR Aceh dalam upaya pemulihan hak korban konflik Aceh.
“Ini tidaklah bertujuan untuk membuka kembali luka lama, akan tetapi lebih untuk menekankan pada upaya penyelesaian konflik secara komprehensif, sesuai dengan amanat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh, serta visi misi Aceh Hebat,” kata Nova. (ril/ra)