Kajari Sosialisasi Restorative Justice Kepada Keuchik di Bireuen

Kajari Bireuen, Moh Farid Rumdana SH MH didampingi Kasi Intel dan Kasi Pidum, mensosialisasikan Restorative Justice kepada para Keuchik di Aula Kejaksaan setempat, Jumat (1/4) kemarin. AKHYAR RIZKI RAKYAT ACEH

BIREUEN (RA)- Menindaklanjuti kebijakan Jaksa Agung yang telah dituangkan dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ), Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen menggelar tatap muka dengan para Kepala Desa (Keuchik) yang tergabung sebagai pengurus DPC Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) di Aula Kejaksaan setempat, Jumat (1/4) kemarin.

Tujuan digelarnya kegiatan tersebut, sebagai ajang silaturahmi, sekaligus sosialisasi tentang RJ kepada Pemerintah Desa.

Dalam acara yang berlangsung penuh keakraban seraya ngobrol santai itu, Kajari Bireuen Moh Farid Rumdana SH MH turut memperlihatkan prosesi perdamaian antara korban dan tersangka, melalui keadilan RJ kepada perwakilan Keuchik se Kabupaten Bireuen.

Saat disambangi media ini, Minggu (3/4) di ruang kerjanya, Kajari Bireuen mengaku, pihaknya selalu berupaya menyadarkan masyarakat pentingnya pengetahuan tentang penyelesaian masalah melalui mekanisme RJ.

“Kemarin, kami melakukan silaturahmi dengan para Keuchik guna menyampaikan pentingnya penerapan hukum berdasarkan Keadilan Restoratif. Selama ini, warga sering mendengar sebutan RJ, namun tidak tau bagaimana penerapannya. Oleh karena itu, kita terus berupaya mensosialisasikan aturan tersebut, hingga masyarakat bawah juga mengetahui pentingnya diberlakukan RJ dalam menyelesaikan masalah,” ujarnya.

Ia menyebutkan, dengan diberlakukannya penghentian penuntutan berdasarkan RJ, maka fokus penyelesaian perkara oleh Jaksa tidak lagi menitikberatkan pada pemberian sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan, tetapi lebih mengutamakan pemulihan kepada keadaan semula.

“Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif bukanlah merupakan penghapusan terhadap kesalahan pelaku tindak pidana dan bukan pula merupakan penghapusan sanksi pidana terhadap pelaku, tetapi sebagai alternatif penjatuhan sanksi kepada pelaku berupa hukuman untuk memulihkan kembali kepada keadaan semula seperti sebelum adanya tindak pidana, yaitu situasi yang damai dan harmoni, tanpa ada rasa dendam,” sebut mantan Koordinator Intelijen Kejati Aceh ini.

Ia mengaku, pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif didasarkan pada asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas dengan rujukan bahwa pidana sebagai jalan terakhir, asas cepat, serta sederhana dengan biaya ringan.

“Penghentian penuntutan berdasarkan RJ, tidak hanyak melibatkan pelaku dan korban saja, tetapi juga keluarga serta tokoh masyarakat. Sehingga, harapan masyarakat untuk memperoleh keadilan menjadi sangat tinggi. RJ telah menjadi harapan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan penegakan hukum yang selama ini terpendam. Namun demikian, pelaksanaan kebijakan tersebut tentunya harus diselaraskan dengan konsepsi tujuan hukum dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia,” pungkas Moh Farid Rumdana.

Perlu diketahui, beberapa hari lalu, Kejari Bireuen sudah meresmikan Balai Perdamaan yang diberi nama Balee Dame, sebagai pilot project Gampong Restorative. Balee Dame dipergunakan untuk melakukan komunikasi dan diskusi dengan masyarakat.

Balai tersebut didirikan menindaklanjuti Perja Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. (akh)