BIREUEN (RA) – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Al Muslim (Umuslim) menggelar seminar dengan mengusung tema, “Rekonstruksi Ureueng Aceh: Sosial, Keamanan dan Kepemimpinan”.
Seminar ini mengundang dua pemateri yaitu, Dr Kamaruzzaman Bustamam Ahmad MA selaku akademisi dan pengarang buku ‘Acehnologi’, dan Wildan Zacky E selaku Ketua Panwaslih Kabupaten Bireuen, serta dimoderatori oleh Risky Novialdi SIP MHI selaku Ketua Prodi Ilmu Hubungan Internasional Umuslim.
Hal ini disampaikan oleh Dekan Fisip Umuslim, Rahmad SSos MAP kepada Harian Rakyat Aceh, Selasa (26/7) disela-sela kegiatan di Aula kampus setempat.
Ia mengaku, seminar ini terlaksana atas tanggapan bahwa Aceh dinilai sedang di tengah persimpangan dari masa lalu yang penuh dinamika sosial politik.
“Aceh sudah pernah melewati masa konflik hingga menuju perdamaian pada tahun 2005. Aceh juga pernah ditimpa tsunami dahsyat yang membuat trauma sebagian besar masyarakat. Dengan serangkaian fenomena besar tersebut, masyarakat perlu menata ulang kehidupan yang bermartabat. Ini merupakan aksi nyata untuk menyadarkan masyarakat ke arah lebih baik di masa depan,” ujar Rahmad.
Ia juga mengaku, kegiatan tersebut merupakan bentuk respon dari akademisi Umuslim terkait kondisi bangsa Aceh saat ini. Fenomena kepemimpinan yang baru, bangsa Aceh harus melihat kondisi ini secara substansial dari pada hanya memikirkan hal yang secara prosedural, karena menurutnya, untuk merekontruksi ureung Aceh membutuhkan pola pikir baru dan lebih bijaksana.
Sementara pemateri I, Kamaruzzaman atau yang lebih dikenal dengan bang KBA menyampaikan bahwa, Aceh saat ini ditengah pergolakan antara kelompok yang berfikir secara nation dan di lain sisi ada kelompok yang berfikir secara state.
“Orang yang berfikir nation bisa melintasi waktu untuk melihat kepentingan dan kebutuhan bangsa Aceh secara menyeluruh. Sedangkan bagi pihak yang berfikir secara state akan terjebak dalam pusaran kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga untuk merekontruksi ureueng Aceh membutuhkan lebih banyak orang-orang yang berfikir secara nation dari pada state, meskipun konsep ini tetap dalam lingkup negara kesatuan Indonesia,” pungkas KBA.
Dilain sisi, Wildan selaku pemateri kedua, lebih fokus kepada proses mencapai lahirnya pemimpin melalui Pemilu yang jujur dan adil. Menurutnya, dibutuhkan peran segala macam pihak untuk mengawasi proses Pemilu di Aceh terutama bagi masyarakat di Bireuen.
“Saat ini, money politik sudah menjadi budaya dalam masyarakat. Warga kerap kali menggadaikan suaranya dengan harga yang sangat murah untuk masa jabatan politik yang cukup lama, bahkan mencapai 5 tahun. Masyarakat Aceh harus lebih peka dan menyadari perannya dalam menentukan pemimpin yang berkualitas dan bertanggung jawab serta membawa kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh bangsa Aceh, karena bangsa Aceh adalah Bangsa teuleubeh,” sebut Ketua Panwaslih Bireuen. (akh)