Aceh Optimis Turunkan Stunting
Perbesar
dr Qurrata Aini
Oleh: dr Qurrata Aini
Provinsi Aceh sebagai daerah di ujung bagian Barat Indonesia atau di bagian Utara pulau Sumatra, masih dihadapkan masalah stunting bagi bayi dan balita, hingga di tahun 2021 angkanya hingga mencapai 33,2 persen, berdasarkan laporan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), dengan rata-rata anak usia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami stunting.
Akibatnya, Aceh dikatakan sebagai salah satu masalah kesehatan yang dialami banyak anak. Bahkan Aceh masuk dalam peringkat 3 besar provinsi dengan angka stunting tertinggi nasional pada 2021.
Selain itu, terdapat 3 wilayah di Provinsi Aceh dengan prevalensi balita stunting tertinggi hingga mencapai kisaran 40%. Ketiga wilayah itu adalah Kabupaten Gayo Lues (42.9%), Kota Subulussalam (41.8%), dan Kabupaten Bener Meriah (40%).
Sedangkan Kota Banda Aceh tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi balita stunting terendah yakni sebesar 23.4%. Kota Sabang dengan prevalensi 23.8%, dan Kabupaten Bireuen 24,3%.
Selain itu, di tahun 2021 terdapat 10 kabupaten/kota di Provinsi Aceh dengan prevalensi balita stunting di atas rata-rata provinsi. Sedangkan 13 kabupaten/kota prevalensinya di bawah rata-rata provinsi.
Untuk itu, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres tersebut memuat acuan yang harus dicapai oleh pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting.
Perpres ini merupakan payung hukum bagi Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Penurunan Stunting yang telah diluncurkan dan dilaksanakan sejak tahun 2018. Perpres ini juga untuk memperkuat kerangka intervensi yang harus dilakukan dan kelembagaan dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting.
Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting 14 persen di tahun 2024 dan target pembangunan berkelanjutan di tahun 2030 berdasarkan capaian di tahun 2024. Berdasarkan Lima Pilar Percepatan Penurunan Stunting, akan disusun Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mendorong dan menguatkan konvergensi antar program melalui pendekatan keluarga berisiko stunting.
Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan simulasi psikososial yang tidak memadai.
Dalam ilmu kedokteran, untuk menghindari terjadinya stunting panjang bayi yang baru lahir itu mencapai 48 centimeter, dan bila lebih mencapai 50 centimeter maka akan lebih baik untuk perkembangan bayi kedepannya.
Untuk di Aceh sendiri, sebagai langkah pemerintah dan menrunkan kasus stunting dengan memberikan Tablet Tambah Darah (TTD) kepada remaja putri di tingkat SMA. Hal ini dilakukan mereka sebagai calon ibu akan menghasilkan keturunan yang berkualitas, berprestasi dan jauh dari kata stunting.
Penyebab terjadinya risiko stunting adalah multifaktorial. Penyebab paling utama adalah kekurangan gizi kronis pada awal 1.000 hari pertama kehidupan yaitu sejak awal kehamilan (konsepsi) hingga anak berusia dua tahun.
Kekurangan gizi dapat berupa kurangnya jumlah asupan makanan, atau kualitas makanan yang kurang baik, seperti kurangnya variasi makanan. Faktor lain yang turut berperan dalam risiko stunting antara lain kesehatan ibu selama kehamilan, pola asuh dan kesehatan anak atau kekerapan mengalami penyakit infeksi, kondisi sosio-ekonomi serta lingkungan.
Selain itu, pertumbuhan tinggi dan komposisi otot tubuhnya juga akan terhambat yang pada akhirnya akan menurunkan sistem kekebalan tubuh (lebih mudah sakit) dan performa kerja di masa dewasa.
Kekurangan energi dan zat gizi juga akan memaksa proses metabolisme tubuh untuk beradaptasi sehingga berisiko meningkatkan penyakit-penyakit metabolik di masa dewasa, antara lain diabetes, obesitas, dan darah tinggi. Sehingga dapat disimpulkan, stunting akan berdampak pada kualitas hidup seorang anak di masa dewasanya.
Untuk mencegah stunting dan pemenuhan gizi bayi dan nutrisi kepada ibu hamil tidak boleh diabaikan, selain konsumsi sayur dan buah buahan. Pemenuhan gizi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, menjadi upaya pertama dalam menghindari stunting. Pemenuhan gizi tersebut meliputi gizi selama kehamilan dan masa kanak-kanak hingga usia dua tahun.
Kesehatan ibu hamil dan anak juga harus dijaga dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat sehingga mengurangi kekerapan terjadinya infeksi pada ibu hamil dan masa kanak-kanak.
Pemantauan tumbuh-kembang anak secara berkala juga perlu dilakukan, baik sejak dalam kandungan, setiap bulan setelah kelahiran hingga berusia dua tahun, kemudian 6–12 bulan setelah berusia dua tahun, agar dapat segera dideteksi bila terjadi keterlambatan pertumbuhan untuk diintervensi.
Selain itu juga juga diingat bahwa semua zat gizi penting untuk pertumbuhan, terutama protein, dan mikronutrien antara lain zinc, yodium, zat besi, vitamin A, vitamin D, vitamin B12, asam folat.
Penanganan stunting di Indonesia saat ini memang tidak mudah. Banyaknya faktor yang mempengaruhi menjadi tantangan dalam program pengentasan stunting. Sebuah penelitian terbaru mendapatkan bahwa tinggi badan ibu merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kejadian stunting.
Mantan Menkes Nila Moeloek, menyampaikan kesehatan berada di hilir. Seringkali masalah-masalah non kesehatan menjadi akar dari masalah stunting, baik itu masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan perempuan, serta masalah degradasi lingkungan. Karena itu, ditegaskan oleh Menkes, kesehatan membutuhkan peran semua sektor dan tatanan masyarakat, di antaranya:
Pola Makan
Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak beragam.
Istilah “Isi Piringku” dengan gizi seimbang perlu diperkenalkan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, memperbanyak sumber protein sangat dianjurkan, di samping tetap membiasakan mengonsumsi buah dan sayur.
Dalam satu porsi makan, setengah piring diisi oleh sayur dan buah, setengahnya lagi diisi dengan sumber protein (baik nabati maupun hewani) dengan proporsi lebih banyak daripada karbohidrat.
Pola Asuh
Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan Balita. Dimulai dari edukasi tentang kesehatab reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga, hingga para calon ibu memahami pentingnya memenuhi kebutuhan gizi saat hamil dan stimulasi bagi janin, serta memeriksakan kandungan empat kali selama kehamilan.
Bersalin di fasilitas kesehatan, lakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan berupayalah agar bayi mendapat colostrum Air Susu Ibu (ASI). Berikan hanya ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan. Setelah itu, ASI boleh dilanjutkan sampai usia 2 tahun, namun berikan juga makanan pendamping ASI. Jangan lupa pantau tumbuh kembangnya dengan membawa buah hati ke Posyandu setiap bulan.
3. Sanitasi dan Akses Air Bersih Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih, mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu, perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.
Penulis adalah Mahasiswa S2 Prodi Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran USK.
Artikel ini telah dibaca 30 kali
Baca Lainnya
Trending di OPINI