
Belasan ibu menceritakan bagaimana tubuh anak-anak mereka bengkak dan dilubangi di beberapa bagian untuk memerangi gerogotan gagal ginjal akut. Para wakil rakyat yang menerima mereka, sembari saweran santunan, berjanji mendesak tanggung jawab pemerintah.
KHAFIDLUL ULUM, Jakarta
BEGITU mulai bertutur, suara Desi Permatasari langsung bergetar. ’’Anak saya sampai saat ini masih dirawat di RSCM, sudah lima bulan di sana,” kata Desi dengan air mata yang tidak bisa terbendung lagi di hadapan pimpinan dan anggota Komisi IX DPR RI.
Desi datang bersama belasan keluarga korban gagal ginjal akut pada anak (GGAPA) dari sekitar Jabodetabek. Kepada para wakil rakyat, dia bertutur bagaimana Sheena Almaera Maryam, sang anak, dirujuk ke rumah sakit nasional karena tidak bisa buang air kecil.
Setelah masuk RSCM, si kecil Sheena yang baru berusia 5 tahun koma dan mengalami pendarahan di beberapa bagian: hidung dan lambung di antaranya. ’’Dia tidak bisa bergerak sama sekali,” tuturnya.
Saat ini, kata dia, Sheena sudah tidak menjalani cuci darah lagi dan dipindahkan ke ruang perawatan. Tapi, dia tidak lagi bisa merespons apa-apa. Dokter pun tidak memberikan obat antidotum lagi. Sudah terlambat, kata si dokter seperti ditirukan Desi, karena racun sudah menjalar ke seluruh tubuh Sheena, bahkan sampai otak.
Beberapa bagian tubuh Sheena juga terpaksa harus dilubangi karena organ tubuhnya tidak berfungsi lagi. Upik sekecil itu betul-betul berjuang untuk hidup dalam arti yang seharfiah mungkin.
’’Sekarang Sheena bertahan sendiri, Ibu-Bapak. Sheena sendiri yang bisa bertahan, dia sendirian sekarang,” tangis Desi semakin kencang. Mereka yang duduk di kanan-kirinya memberinya tisu untuk mengusap air mata.
Charles Honoris yang memimpin rapat berusaha keras menahan tangis. Saleh Partaonan Daulay, anggota komisi IX, juga berusaha tegar mendengar cerita Desi, tapi tetap saja matanya tampak basah.
Kisah yang dituturkan Safitri Puspa Rani, ibu korban GGAPA lain, tak kalah merobek hati. Buah hatinya, Pang Hegar, yang baru berusia 8 tahun malah sudah berpulang dihajar gagal ginjal akut pada 15 Oktober tahun lalu.
’’Batang otak anak saya sudah mati, paru-parunya sudah tidak bekerja,” kata Safitri di sela sesenggukan mengenang sang anak.
Ratusan anak jadi korban gagal ginjal akut yang memuncak pada akhir tahun lalu. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut penyebabnya adalah cemaran EG (etilen glikol) dan DEG (dietilen glikol) di obat sirup. Kinerja Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pun menjadi sorotan luas.
Saleh Partaonan Daulay berjanji memperjuangkan nasib para keluarga korban. Sejak awal dia menyatakan bahwa para korban harus diberi santunan. Bahkan, dia meminta anggaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebesar Rp 90 triliun dipotong dan digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Sebagai bentuk empati dan pertanggungjawaban moral, dalam audiensi kemarin, Saleh menyatakan akan menyumbangkan uang Rp 20 juta bagi para korban. Dia pun mengajak anggota lain untuk menyisihkan sebagian uang.
Charles Honoris melakukan hal yang sama. Dia menyumbangkan Rp 50 juta. Komisi IX juga memberikan bantuan Rp 50 juta setelah audiensi selesai.
Netty Prasetiyani, anggota komisi IX lainnya, menegaskan bahwa selain Kemenkes, BPOM pun harus bertanggung jawab. Menurut dia, seharusnya kepala BPOM mundur karena tidak mampu mengatasi persoalan tersebut.
’’Jika tidak mau mundur, kami akan menyurati Presiden Joko Widodo untuk mencopotnya,” katanya.
Untuk menuntut tanggung jawab itu, Desi memohon bantuan para wakil rakyat. Untuk anaknya, untuk anak-anak lain yang juga menjadi korban. ’’Sheena tidak bisa berjuang sendiri, Ibu-Bapak. Sheena butuh pertolongan Ibu-Bapak. Saya datang ke sini untuk memperjuangkan nasib anak-anak kami,” ucapnya dengan suara bergetar. **