LAPORAN : IDRIS BENDUNG
MATAHARI siang itu memang cukup terik. Suasana Ini lah yang membuat hasrat cukup kuat untuk menikmati lintasan Peurelak – Blang Kejeren, Kabupaten Gayo Lues. Padahal bulan Oktober musim penghujan.
Panorama alam pegunungan dan sungai di depan mata cukup menjanjikan. Itu semua bakal terlihat sepanjang 158 km. Ditambah jalan pun cukup mulus. Ya, proyek Multi Years Contract (MYC) pun digadang-gadang cukup bermanfaat bagi masyarakat pedalaman.
Bismillah. Dua mobil keluarga berukuran sedang penuh dengan penumpang bergerak dari Simpang Tiga Kecamatan Peurelak Barat, Aceh Timur. Sebelumnya kami sekeluarga dari Lhokseumawe hendak ke Kutacane, Aceh Tenggara, karena ada hajatan.
Angka jam sudah menunjukkan pukul 11.35 WIB. Hari itu, Jum’at, 13 Oktober 2023. Urusan perut memang harus sudah diisi.Terlebih lagi ketersediaaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Bukankah perjalanan melintasi bukit terjal dan hutan belantara akan dilalui.
Waktu solat Jum’at ada sekitar satu jam lagi. Kami pun sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Sejam berjalan sudah terlihat pohon –pohon durian yang penuh dengan buah. Namun, sebelumnya terhampar luas lahan sawit dan pohon karet.
Dipertengahan jalan antara Peunarun dan Lokop –Serba Jadi, kami harus memarkirkan kenderaan. Itu buah durian dijual. Kata saya. Mari kita coba makan durian langsung di kebunnya.
Kebetulan sang pemilik kebun sudah tiga hari bersama keluarganya untuk menunggu durian yang jatuh. “Saya dari Peunarun. Kami sudah tiga hari kemari,” kata Aman Is atau disapa lengkap Salsabila yang mengaku asli suku Alas.
Saya pun meminta dua buah durian saja. Ya, mau mencoba durian khas disini. Aman Is membelah dengan cekatan. Aroma khas langsung tercium. Asiknya, buah durian berwarna tembaga. Tidak putih lazimnya.
Luar biasa. Manis, lezat dan biji durian pun kecil. Dagingnya lebih dominan. Ya, cukup tebal.
Bila saya ingat makan durian. Tentu saja saya teringat dengan pimpinan media saya dahulu. Ya, pak Dahlan Iskan dan Pak Rida Kaliamsi. Kedua orang tua ini, ngak bisa lihat buah durian. Bila dalam perjalanan sedang menyetir sendiri mobil. Pak Dahlan dengan cepat memakirkannya. Ayo makan durian dulu kita, kata mantan menteri BUMN masa Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Cerita ini tentu saat kami pasca tsunami melintas jalan Takengon-Beutong Atueh hingga Blang Pidie, Kabupaten Abdya, awal tahun 2005 lalu.
Ini pun terulang kembali ketika memasuki kawasan Sumatera Utara. Durian tetap jadi inceran. Saiful Ishak kala itu, Pimred Rakyat Aceh. harus angkat tangan melihat sesepuhnya doyan buah durian.
Usai menikmati durian, perjalanan dilanjutkan. Pemerintah Aceh, menyebut pembangunan jalan Peureulek hingga tembus ke Blang Kujeuren atau lazim disebut Galus, berlangsung tiga segmen. Yaitu segmen 1 pembangunan peningkatan jalan Peureulak-Lokop batas Gayo Lues sepanjang 21,7 km.
Segmen 2 juga peningkatan jalan Peureulak-Lokop batas Gayo Lues, sepanjang 40 km. Kemudian segmen 3 peningkatan jalan Peureulak-Lokop batas Gayo Lues, 28,8 km. Total anggaran proyek MYC ini pun diperkirakan mencapai Rp 523 miliar.
Tikungan tajam, mendaki dan menurun membuat konsentrasi penuh. Klakson tak jarang harus dibunyikan. Memang beda kalau dinegara maju. Ada larangan sering membunyikan klakson. Ya, dianggap mengganggu orang lain.
Tetapi, beda jauh dengan lintasan yang kita lalui ini. Klakson dominan berbunyi. Sebab, hampir 60 persen tikungan tak dapat melihat lawan dari arah berlawanan. Mau tak mau klakson harus dibunyikan.
Sungai dengan air jernih menemani perjalanan. Beberapa diantaranya, ada yang dijadikan daerah wisata. Sayang, kami tidak bisa singgah. Karena takut kemalaman dalam perjalan ke Blang Keujeren.
Setelah berjalan hampir dua jam lebih. Terlihat mesjid disisi kanan jalan yang indah. Memang waktu solat Jum’at sudah habis. Kami pun melakukan solat dzuhur. “Kita musafir. Apalagi dalam perjalan jauh di tengah hutan. Diperbolehkan solat dzuhur,” kata Hamdani adik ipar saya.
Sekalian jamak aja dengan solat Ashar, tambah istri saya Dalina dan dibenarkan adik bungsu saya Irma yang dosen di Universitas Malikussaleh.
Solat sudah. Mesin mobil dan tapak rem pun sudah dingin. Perjalanan dilanjutkan hingga ke perbatasan Aceh Timur – Kabupaten Gayo Lues.
Ekstra kosentarasi menyetir harus ditambah penuh. Memasuki gapura selamat datang di Kabupaten Gayo Lues, jalan berliku dan tanjakan serta menurun dihadapi penuh.
Hampir dua jam kita harus meliuk-liuk perjalanan. Sesampai kami tiba di jembatan arah Pining, cuaca masih sangat bersahabat. Rasa was was sedikit mereda. Di kawasan Bukit Gajah, yang diceritakan sering tanah longsor dan jatuh batu krikil, memang terlihat bekasnya.
Beberapa warga sebelumnya yang sempat kami singgah untuk membeli air mineral atau panganan ringan juga mengingatkan itu.
Ruas jalan masih ada tanah namun bisa dilalui. Kabut dan hujan tidak kami temui hingga pukul 18. 00 WIB. Alhamdulilah, dari ketinggian perjalanan, kota Blang Keujreuen, sudah terlihat.
Persawahan di kiri kanan jalan menghiasi saat memasuki kota berjuluk Negeri Seribu Bukit. Penginapan jadi sasaran selanjutnya. Untuk esok, Sabtu pagi perjalanan dilanjutkan ke Kutacane, Aceh Tenggara. (*)