
RAKYAT ACEH | SINABANG – Lobster hasil Sumber Daya Alam (SDA) Laut Simeulue, mulai mendapat perhatian dan bernilai ekonomis, ternyata bermula saat terjadi musim pancakelik atau anjloknya perekonomian di wilayah kepulauan wilayah Simeulue, sekitar akhir tahun 80an dan awal tahun 90-an.
Pada saat itu lobster hanya di banderol senilai Rp 10.000 hingga Rp 25.000 persatu kilogram dan harga buah cengkeh anjlok hingga ke level terendah, kurang dari Rp 1.000 persatu kilogram, sehingga dengan laku dijual lobster tersebut dapat menyelamatkan perekonomian masyarakat.
Mantan pencari lobster era tahun 90an, Kasman (63), warga Desa Suak Buluh, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, menyebutkan kepada Harian Rakyat Aceh, Selasa, 7 November 2023, bahwa pada saat itu yang masuk hitungan timbangan dan laku dijual hanya tubuh lobster, sedangkan kepala lobster harus dilepas.
“Lobster itu mulai laku dijual sekitar akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an. Pada saat ini sedang terjadi musim pancakelik, cengkeh hanya laku dijual kurang dari Rp 1.000 persatu kilogram dan waktu itu yang laku hanya badan lobster, sedangkan kepala lobster dibuang, karena tidak laku,” kata Kasman.
Kasman kembali mengungkapkan, pada masa itu lobster masih banyak bertebaran di perairan laut Simeulue, sehingga sangat mudah ditemui dan ditangkap, hanya menggunakan alat tangkap rakitan dan tradisional jenis tangguk segi empat, yang dipasang di pantai yang ada batu karang.
Hasil tangkapan dalam satu pekan mampu mengumpulkan 100 kilogram kilogram lobster. “Pada saat itu lobster masih banyak dan mudah ditangkap, dalam satu minggu saja, kami mampu menangkap dan mengumpul lobster sebanyak 100 kilogram,” sebut Kasman.
Kasman bersama tiga orang rekannya pada saat itu, menangkap lobster di pulau Babi dan Pulau Lasia, yang berada di kawasan Kecamatan Teupah Selatan, kemudian lobster hasil tangkapannya itu dijual ke Kota Sinabang, yang pada masa itu Kabupaten Simeulue belum pisah dari Kabupaten Aceh Barat.
Pria yang telah memiliki sejumlah cucu itu, kembali mengenang masa pancakelik yang merupakan era paling sulit perekonomian, meskipun telah berupaya mendongkrak ekonomi keluarganya dengan menangkap menjual lobster sebagai mata pencahariannya pada saat itu, namun belum mampu mengasapi dapurnya secara maksimal.
Sehingga, hanya satu tahun Kasman mampu bertahan dengan mata pencaharian dari lobster, kemudian memboyong keluarganya hengkang dari Pulau Simeulue, ke pulau Sumatera bagian pesisir barat Aceh untuk mencari sumber mata pencaharian untuk menyelamatkan keluarganya dan mengasapi dapurnya.
“Saking pahitnya pancakelik pada masa itu, dengan mata pencaharian dari lobster ternyata tidak mampu mengatasi ekonomi keluarga saya, sehingga putuskan mencapai mata pencaharian di pulau Sumatera dan saya boyong keluarga semua. Dua teman saya pencari lobster masa itu telah meninggal dunia,” kenangnya.
Dia kembali mengenang pada masa itu, dirinya dan bersama tiga rekannya belum mengetahui cara menangkap lobster itu, dilakukan dengan menyelam dan menggunakan alat tabung oksigen lainnnya, sehingga mampu mendapatkan lobster yang melimpah, meskipun harganya masih rendah.
Saat ini, Kasman telah menetap kembali ke kampung halamannya di Desa Suak Buluh, Kecamatan Simeulue Timur, setelah merantau sekian lama dan kembali ketika konflik Aceh. (ahi/bai)