
RAKYATACEH | BANDA ACEH – Banjir melanda Kabupaten Aceh Tenggara sepekan terakhir membuktikan kerusakan tutupan hutan semakin parah dan kritis. Kadiv Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Afifuddin Acal mengatakan, kabupaten yang sering banjir membuktikan daerah tersebut terjadi tingkat kerusakan hutan masif.
Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya.
Selain itu, WALHI Aceh juga menilai pemicu banjir juga akibat adanya pembukaan jalan baru yang dapat memicu illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya. Dengan adanya jalan tersebut para perambah hutan semakin mudah untuk mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu.
“Intensitas banjir yang terjadi di Aceh Tenggara sepakan ini membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin masif terjadi di Aceh Tenggara,” kata Afifuddin Acal, Rabu (15/11).
”Banjir menjadi persoalan klasik, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan, padahal kejadian setiap akhir tahun selalu kejadian, pemerintah terkesan macam tidak peduli, padahal bisa berkaca pengalaman setiap tahunnya,” katanya.
Kata Afif, seharusnya Aceh Tenggara itu harus dilestarikan hutannya dengan baik. Mengingat dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, 92 persen masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Berdasarkan SK 580 total luas wilayah Aceh Tenggara 414.664 hektar, 380.457 hektar di antaranya adalah KEL.
Menurut Afif, wajar banjir terus terjadi di Aceh Tenggara selama ini setiap curah hujan tinggi. Karena kerusakan hutan, khususnya yang masuk dalam KEL terus terjadi. Hutan alam terus ditebang, sehingga mengakibatkan daya dukung tanah menurun, sehingga terjadilah berbagai bencana ekologi.
Berdasarkan SK 580, luas KEL di Aceh Tenggara awalnya 380,457 hektar, terus mengalami penyusutan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sisa KEL pada 2022 hanya 326,048 hektar, ada terjadi penyusutan seluas 54,409 hektar
“Artinya 14.30 persen itu hilang tutupan hutan di KEL yang ada di Aceh Tenggara. Makanya banjir terus terjadi dan kondisi ini terus terjadi berulang kali setiap akhir tahun, pemerintah macam gak ada solusi apapun,” jelasnya.
Menurut Afif, padahal KEL merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara, serta lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orang utan sumatra dalam satu area.
Parahnya kerusakan tutupan hutan di Aceh Tenggara mayoritas terjadi dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Dampaknya saat musim hujan dengan intensitas tinggi, banjir dengan mudah terjadi, karena daya tampung semakin berkurang karena hutan sudah gundul.
Hutan Lindung di Aceh Tenggara berdasarkan SK 580 seluas 79.267 hektar, sekarang tersisa hanya 68.218 hektar. Artinya pada 2022 terjadi kehilangan tutupan hutan di kawasan ini seluas 11.049 hektar, hampir dua kali lipat luasan kota Banda Aceh.
Kemudian Taman Nasional (TN) di Aceh Tenggara awalnya luasan 278.205 hektar, sekarang tersisa 257.610 hektar, artinya telah terjadi kehilangan 20.595 hektar pada 2022 atau hampir setara 4 kali luasan kota Banda Aceh.
“Kondisi hutan di Aceh Tenggara terus menyusut setiap tahunnya sejak 2014 lalu, ini yang kemudian menjadi pemicu mudah terjadi banjir bila hujan lebat melanda,” kata Afifuddin Acal. (ril/hra)