Cerpen Diangkat dari True Story Warga Woyla Meutaloe Wareh
Oleh Abi Mecca
Di suatu malam yang penuh kehangatan di Rex Peunayong, Banda Aceh, Madi bersama temannya menikmati malam di tengah gemerlap lampu dan aroma lezat dari kuliner khas Aceh. Mereka baru saja selesai menyantap sate matang, mie Aceh, dan berbagai makanan yang membuat perut mereka penuh dan hati gembira.
Dengan langkah ringan, Madi berjalan ke tempat parkir. Dia merasa lega melihat mobil Rocky hitamnya masih terparkir di sana, di tengah deretan kendaraan lain yang hampir semuanya serupa. Namun, ketika dia mendekati mobilnya, jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Tape mobilnya hilang!
Wajah Madi langsung memerah karena marah. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana barang berharga seperti itu bisa hilang dalam waktu singkat. Dia memanggil Mak Usuh, tukang parkir yang bertugas di area tersebut. Mak Usuh, seorang pria paruh baya dengan wajah ramah namun terlihat letih, datang dengan langkah cepat.
“Mak Usuh! Ke sini cepat!” teriak Madi dengan nada tinggi, matanya menyala-nyala menahan amarah.
Mak Usuh, yang tidak mengerti apa yang terjadi, mendekati Madi dengan penuh keraguan. “Ada apa, Bang?” tanyanya dengan suara gemetar.
Madi mengarahkan telunjuknya ke arah dashboard mobilnya. “Mana tape saya? Baru saja saya tinggal makan, sekarang sudah hilang! Apa kerjaan kamu di sini, hah?”
Mak Usuh melihat ke arah yang ditunjuk Madi dan kemudian kembali menatap pemilik mobil itu dengan kebingungan. “Meuah, Bang, hana lon kalon. Meuh, meuah, meuah,” kata Mak Usuh memohon, tangannya merapat seolah-olah sedang berdoa. “Saya nggak tahu apa-apa, Bang. Saya di sini terus jaga mobil-mobil.”
Namun, amarah Madi tak terbendung. Dia terus melontarkan sumpah serapah, menuduh Mak Usuh tidak becus dalam pekerjaannya. “Kamu dibayar buat jagain mobil, tapi malah hilang barang di dalamnya! Apa gunanya kamu di sini?”
Para pengunjung yang tadinya asyik dengan makanannya kini mulai memperhatikan. Beberapa dari mereka terlihat prihatin, sementara yang lain tampak menikmati drama gratis malam itu. Beberapa bahkan mulai berbisik, memberikan pendapat mereka tentang situasi yang sedang berlangsung.
Mak Usuh hanya bisa menunduk, mencoba menahan perasaan malu dan terhina. Dia tidak tahu harus berkata apa untuk membela diri dari tuduhan yang begitu keras.
Setelah sepuluh menit penuh dengan teriakan dan makian, Madi akhirnya kehabisan tenaga. Dia duduk di bangku terdekat, masih gemetar karena marah. Saat dia menoleh ke arah deretan mobil, pandangannya tiba-tiba terpaku pada sesuatu yang tidak disangka-sangka. Di sana, hanya beberapa langkah dari tempat dia berdiri sebelumnya, terparkir mobil Rocky hitam yang sangat dia kenali.
Madi merasa darahnya berdesir. Dia mendekati mobil itu dengan perasaan tak menentu. Ketika dia membuka pintu, tape yang dia kira hilang masih berada di tempatnya. Dia sadar bahwa mobil yang tadi dimarahinya bukanlah miliknya.
Perasaan malu dan bingung menguasai Madi. Dia menoleh ke arah Mak Usuh yang masih berdiri dengan wajah bingung dan kecewa.
“Bang, itu mobil abang yang tadi! Mata kau di mana, bang? Mabok kau ya? Mobil sendiri nggak tau,” seru Mak Usuh dengan nada yang kini penuh dengan rasa puas dan marah. Tawa dari para pengunjung sekitar pun terdengar, mereka menikmati kecerobohan Madi yang baru saja terjadi.
Madi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan perasaan malu yang semakin mendalam, dia merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu. “Ini buat parkir,” katanya pelan, hampir tidak terdengar.
Mak Usuh menerima uang itu dengan senyum lebar. “Terima kasih, Bang. Lain kali, sebelum marah-marah lihat dulu yang benar ya, Bang.”
Madi mengangguk, tanpa kata-kata lagi. Malam itu, dia pulang dengan perasaan yang bercampur aduk, mempelajari pelajaran berharga: selalu pastikan mobil sendiri sebelum marah-marah pada tukang parkir.