Oleh : Dr. Wiratmadinata, S.H., M.H.,*
NYARIS setiap hari, mahasiswa dan anak-anak muda yang “ngopi” atau kuliah dengan saya bertanya; “Bang, bagaimanakah kita menyelamatkan Aceh?”. Tentu saja saya bukan “Dewa” yang langsung bisa menjawab pertanyaan tersebut. Tapi masalahnya bukan pada pertanyaan atau jawaban tersebut. Intinya, ternyata orang Aceh memang sedang (atau selalu?) gelisah.
Bagi banyak orang Aceh, negeri yang mereka cintai ini seakan berada dalam tubir kehancuran, terutama karena kemiskinan yang terus mengancam, kerusakan moral akibat perubahan sosial yang tergambar dengan jelas dalam statistik; Aceh sebagai “hot spot” judi online tertinggi di Indonesia. Demikian juga dengan peredaran Narkoba; Aceh sudah lama berada dalam angka tiga besar nasional. Sementara, dalam kehidupan sosial dan ekonomi, kesenjangan semakin terasa, pengangguran terbuka meluas di seluruh Aceh, tapi anehnya gaya hidup kalangan muda justru semakin semakin hedonistik. Sudah lazim saat ini di Aceh, fenomena nongkrong di warung kopi berlangsung hingga larut malam, sampai pada keluhan mengenai hilangnya kesantunan sosial yang tercermin dalam konten-konten medsos yang mengancam masa depan generasi muda serta anak-anak kita.
Menyimak hal-hal diatas, saya jadi teringat ucapan Prof. Irwan Abdullah, orang Aceh yang jadi Guru Besar Antropologi di UGM, saat mengajar di kelas LEMHANAS yang saya ikuti tahun 2015 silam; “Ramainya orang yang nongkrong terus-menerus di warung kopi di Aceh, mungkin adalah bentuk atau cara mereka menyembunyikan kegelisahannya”, ujar Irwan Abdullah. Saya terus teringat statement tersebut, dan ironisnya, semakin hari semakin menemukan pembuktian atau kebenaran dari pemikiran Guru Besar tersebut. Warung kopi yang marak, adalah tempat warga menyembunyikan kegelisahannya; agak puitis, tapi juga miris.
Seperti biasa, kegelisahan dan kemarahan yang tersembunyi, dari para mahasiswa dan anak-anak muda ini, akhirnya mengerucut pada kekecewaan yang mendalam terhadap para penanggungjawab atau pemangku kepentingan dalam masyarakat, mulai dari pemangku agama (lembaga agama), pemangku adat (lembaga adat), hingga penegak hukum (lembaga hukum) yang semuanya seakan berlepas tangan pada fenomena-fenomena menyedihkan diatas tadi. Mereka bertanya; apakah pranata-pranata sosial, budaya dan hukum itu gagal berfungsi?
Tapi akhirnya keprihatinan yang paling terasa adalah pada aspek pucuk pimpinan Pemerintahan di Aceh, yang dianggap tidak memenuhi harapan-harapan besar masyarakat yang semakin jenuh pada ketidakpastian masa depan. Mau tak mau, maka, diskusi pun mengarah pada bagaimanakah masa depan Aceh pasca Pilkada Gubernur, November 2024 mendatang. Apakah perubahan kepemimpinan yang akan datang itu, bisa menjadi milestone bagi upaya penyelamatan Aceh, sebagaimana keprihatinan semua orang? Bagi saya pribadi; tahun 2024 ini adalah titik krusial, yang akan menentukan, apakah akan terjadi “titik balik” bagi harapan masa depan Aceh yang gemilang.
Dari berbagai diskusi itu, akhirnya saya mencatat beberapa soal penting yang akan menjadi inti dari artikel ini. Dari semua isu parsial, akhirnya mengarah pada isu kepemimpinan yang dianggap sangat krusial, khususnya mengenai sosok kepemimpinan ideal untuk jadi Gubernur Aceh yang akan dipilih nanti; karena, bagaimanapun juga, mesin pembangunan sosial, ekonomi, politik, budaya dan seterusnya, sepenuhnya ditentukan pada kualitas kepemimpinan. Faktanya; semua komponen masyarakat dan pemerintahan tergantung pada arah gerak dari visi, misi, program strategis serta sentuhan personal seorang Gubernur, yang memang diberi tanggungjawab strategis dalam menentukan “hitam-putih”nya Aceh di masa depan. Oleh karena itu, saya akhirnya datang dengan semacam paradigma dasar, yang mungkin relevan sebagai “role model”, kebutuhan kepemimpinan Aceh ke depan.
Pertama; kita butuh “Pemimpin dengan tipikal diplomat ulung”. Tipikal pemimpin seperti ini, sangat krusial dengan kebutuhan “situational leader”, di dalam situasi, dimana kepercayaan pemerintah pusat belum sepenuhnya pulih, dengan berbagai alasan, baik historis maupun kekinian. Ada banyak komponen yang harus selalu dikomunikasikan dengan Pemerintah Pusat yang sifatnya strategis, tapi juga tidak lepas dari aspek politis yang harus “dimenangkan”, demi kemaslahatan rakyat. Namun demikian dalam metodenya, wajib dilakukan dengan pendekatan yang cerdas serta humanis, bukan sebaliknya dengan pendekatan “show of force”; sebab cara seperti itu sudah terbukti tidak menghasilkan apa-apa.
Aceh selama ini banyak kehilangan peluang, karena para politisi kita sama sekali tidak berdiplomasi, tapi justru “unjuk gigi”; yang dalam bahasa saya “show of force”. Padahal sudah terbukti, kita hanyalah “Macan Kertas”, terbukti pada saat Pemerintah Pusat ngotot dan kukuh pada satu sikap, Aceh tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Adapun substansi diplomasi yang saya maksud, mulai dari masalah regulasi, keuangan, pembagian kewenangan dan dan lain-lain, yang secara teknis harus dikerjakan secara profesional; tidak selalu politis. Notabene; dari aspek apapun, Otonomi Asimetris yang dimiliki Aceh, pastilah tetap dalam koridor ketatanegaraan berdasarkan Konstitusi Indonesia dan Perundangan lain dibawahnya. Sebagai sebuah Propinsi, Aceh tetaplah melaksanakan “Tugas Pembantuan”, sebagai “Pemerintahan Bawahan”, sebagaimana prinsip Otonomi yang berlaku dalam Tata Negara Indonesia. Untuk gambaran saja; misalnya, salah satu contoh agenda yang harus mulai diperjuangkan kembali adalah; Mungkinkah kita melanjutkan “Otsus” yang jelas-jelas sudah berakhir (hanya tersisa 1 persen sampai 2027)? Mungkinkah kita bisa mempermanenkan alokasi Dana Otsus yang masih sangat dibutuhkan rakyat Aceh itu?
Kedua; kita butuh “Pemimpin dengan tipikal pengayom rakyat”. Tipikal pemimpin ini adalah sosok yang di dalam dirinya tidak ada beban historis maupun beban psikologis sebagai milik salah satu kelompok atau elit politik tertentu, sehingga dia bisa lincah berbicara, duduk, tertawa, atau bahkan menangis dengan siapa saja. Dia bukan milik kelompok “A” atau kelompok “B” atau kelompok “C”. Pemimpin sepertini ini adalah sosok yang melebur sebagai manifestasi kultural keacehan yang kental. Pemimpin seperti ini juga, cenderung lebih bisa berbuat adil dan memperlakukan seluruh rakyatnya setara, baik secara sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan seterusnya.
Seluruh rakyat Aceh membutuhkan “Pemimpin Pengayom”, ditengah warisan konflik yang memecah belah rakyat dalam kelompok-kelompok maupun dalam kelas-kelas ekonomi maupun politik serta sosial. Hingga masa dua dekade paska konflik tahun 2024 ini, luka serta perihnya hidup memang sudah hilang dari permukaan, tetapi teror dan ingatan atas mimpi buruk terus menghantui alam bawah sadar, sehingga sudah saatnya orang Aceh, terbebas dari trauma rasa takut, teror apalagi kekerasan. Pemimpin pengayom yang dibutuhkan Aceh adalah, yang santun, berbudi, berakhlak, lembut dan bisa diterima mulai dari Kepulauan, Pegunungan dan Daratan, sebagai “sahabat yang baik hati” dan penuh kasih sayang bagi seluruh rakyat Aceh yang multi-etnik ini.
Ketiga; “Pemimpin yang berilmu, paham tata kelola, dan berwawasan luas”. Semakin hari, tata kelola pemerintahan, terutama tata kelola keuangan, semakin sulit, melibatkan teknologi, skill, ketelitian, disiplin, dan terutama integritas moral, karena berada dalam ranah hukum serta administrasi ketatanegaraan yang ketat. Oleh karena itu, urusan hukum, pemerintahan, keuangan dan birokrasi serta nasib rakyat bukanlah urusan main-main. Orang perlu sekolah, pendidikan, wawasan, integritas, akhlak, moral dan komitmen yang kuat untuk pantas diberikan kepercayaan atas sebuah kuasa, sebesar propinsi Aceh dengan 5 juta rakyat ini.
Oleh karena itu Aceh memerlukan pemimpin berilmu; maknanya dia benar-benar memahami sedetil mungkin apa itu Pemerintahan, apa itu “birokrasi”, apa itu “tata kelola” dan apa itu pemanfaatan“science & teknologi?; jadi tidak cukup hanya dengan faham dengan urusan politik semata. Banyak kasus, kepala daerah yang terperangkap kasus korupsi dan di gelandang KPK, semata karena yang bersangkutan hanya paham politik, beruntung menang di Pilkada tapi kemudian gamang, saat memasuki rumitnya birokrasi, serta politik pemerintahan. Ujung-ujungnya berakhir di penjara, karena dijebak oleh bawahannya sendiri yang lebih ahli dalam “sulap menyulap”, administrasi. Maka, minimal, seorang Kepala Daerah haruslah, memahami prinsip-prinsip penting dalam semua aspek fundamental pemerintahan. Sementara itu, pemimpin masa depan Aceh, mestinya adalah sosok dengan wawasan luas, banyak membaca dan banyak belajar dari berbagai tempat serta sumber. Hanya dengan cara begitu, dia paham dimanakah posisinya sebenarnya dalam konstelasi politik ketatanegaaan. Jangan seperti katak dibawah tempurung; ia membayangkan dirinya sudah cukup “keren”, karena membangun sesuatu yang dianggapnya baru, padahal ternyata, apa yang dia anggap baru itu, sudah dilakukan orang di tempat lain100 tahun yang silam. Ini kan bisa gawat.
Keempat; “Pemimpin dengan tipikal Pemberani, cerdik dan inovatif”. Sudah rahasia umum, seorang pemimpin apalagi Gubernur akan menghadapi tantangan dan tekanan-tekanan dari segala arah. Untuk mengatasi hal ini, memang diperlukan keberanian disatu sisi, tapi juga cerdik dan inovatif di sisi yang lain. Tekanan kepentingan dari “interest group”, maupun tekanan dari “pressure” group melalui infrastruktur maupun suprastruktur politik pemerintahan, sesungguhnya sangat mengerikan.
Seorang gubernur, bukan hanya ditekan oleh hasrat, nafsu serta kejahatan dari luar dirinya (eksternal), tetapi juga dari dalam kelompoknya (internal), bahkan juga dari dalam dirinya sendiri (Personal), termasuk keluarga, kerabat dan Timses. Oleh karena itu dia harus memiliki keberanian untuk menghadapi semua tantangan tersebut dengan kekuatan karakter, moral, kepribadian, integritas, iman dan akhlak. Pada saat bersamaan harus cerdik mencari solusi dan jalan keluar dengan menyiapkan opsi-opsi terbaik untuk ditempuh secara tertib, disiplin dan patuh pada hukum. Sosok pemimpin seperti ini, wajib cerdas dan cakap dalam mengembangkan inovasi-inovasi alternatif yang dapat ditempuh pemerintah serta masyarakat yang dipimpinnya agar bergerak seirama dengan cita-cita bersama seluruh warganegara. Maka. dengan paduan keberanian, kecerdikan dan inovasi, pemimpin seperti ini siap bertarung secara politik menghadapi tantangan vulgar, dengan konsep yang jelas, tapi mampu meminimalisir konflik (Conflict Management).
Kelima; “Pemimpin dengan tipikal profesional, ksatria serta Iman yang teruji”. Mengurus pemerintahan dengan tantangan yang sangat complicated seperti Aceh ini, sudah jelas bukan pekerjaan amatiran. Dia harus benar-benar Profesional. Dan itu bisa diukur kasat mata melalui pengalamannya dalam tatakelola politik pemerintahan serta birokrasi. Kalau cuma “merasa” bisa dan mampu tapi belum teruji sacara baik, akan repot urusannya. Profesionalisme adalah kata kunci dalam mengelola aspek teknis ketatanegaraan. Selain itu, tentu saja soal tanggungjawab yang tinggi dengan mentalitas ksatria. Contoh ekstrim, misalnya dalam budaya Jepang; kalau sudah terbukti salah dan gagal; mundur. Ajaran profesionalisme dan sikap ksatria dalam budaya Jepang dapat dilihat melalui budaya “Bushido”. Seorang Samurai misalnya, ketika gagal menjalankan amanah, maka dia akan merasa malu. Oleh karena itu dia akan minta maaf, menyatakan mundur dengan rasa malu, sehingga terbuka ruang untuk perbaikan baru. Terkait soal rasa malu, ajaran ini sangat kuat pula ditekankan dalam budaya Aceh dan ajaran Islam. Tapi sayangnya, seringkali orang yang sudah terbukti gagal dan tidak memiliki profesionalisme dalam menjalankan amanah, dengan tanpa malu, akan tetap “menjual muka” kepada publik melalui baliho-baliho raksasa, untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari rakyat. Rasa malu juga adalah manifestasi iman dalam ajaran Islam. Dan Iman seorang Muslim dalam memimpin negeri bersyari’at Islam ini adalah segala-galanya. Tentu saja Iman yang teruji oleh ruang dan waktu.
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin kembali pada pertanyaan dari para mahasiswa dan anak-anak muda yang menunggu jawaban saya tadi, dalam pertemuan “ngopi” dimana saja; bahwa saya tidak tahu bagaimana cara menyelamatkan Aceh. Mungkin saja jawabannya ada dalam hati kita semua, jika mau jujur bicara apa adanya, kepada hati nurani sendiri. Marilah tatap wajah anak-anak kita yang masih kecil dan lugu serta tanpa dosa itu? Kepada pemimpin seperti apakah akan kita serahkan mereka? Ke dalam jari-jari dan tangan seperti apakah kita akan titipkan jari-jemari mereka? Agar anak-anak ini dibimbing pada masa depan gemilang, yang bercahaya, yang berwibawa, terpelajar, kaya, berakhlak, beriman dan bertaqwa. Tentu Allah, SWT., yang menentukan segalanya; tapi jika kita salah memilih pemimpin, pasti Aceh tidak bisa kita selamatkan. Sehingga pada gilirannya, anak-anak kita juga tak bisa kita selamatkan masa depannya. Wallahu’alam.
Penulis adalah : Akademisi, Seniman, Aktivis dan Pengajar dan Pengamat Politik.