Menu

Mode Gelap
Samsat Minta Pemko Lhokseumawe Manfaatkan Program Pemutihan PKB Polda Aceh Siap Amankan Delapan Besar Cabor Sepak Bola PON XXI Mustafa SH, Dewan Terpilih Siap Perjuangkan Revitalisasi Jembatan Gantung Medali Triathlon Aceh Bertambah. Jingga Salimul Sumbang Perunggu OJK Dorong Peningkatan Akses Keuangan Bagi Petani Nilam di Nagan Raya

OPINI · 15 Aug 2024 15:10 WIB ·

KDRT Mencuat, Siapa yang Bertanggung Jawab dan Apa Solusinya


 Tgk. Arika Amalia,S.Pd Perbesar

Tgk. Arika Amalia,S.Pd

Oleh : Tgk. Arika Amalia, S.Pd*

Baru-baru ini, jagat maya kembali digegerkan dengan viralnya kasus KDRT yang menjerat keluarga selebgram Aceh; kasus KDRT saat ini sudah banyak sekali terjadi, bahkan sudah menjadi hal yang biasa-biasa saja.

KDRT adalah kekerasan dalam rumah tangga; perbuatan zalim ini dilarang keras oleh Negara, sehingga ada undang-undang dan hukum khusus bagi pelaku KDRT menurut bentuk kekerasan yang dilakukan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai segala tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan dalam bentuk KDRT, baik fisik, seksual, psikis, atau penelantaran terhadap seseorang, terutama perempuan, dalam lingkup rumah tangga. Berikut pasal yang mengatur tentang KDRT sesuai bentuk KDRT yang dilakukan; tentunya kita harus mengetahuinya:

Kekerasan berbasis gender yang dimaksud adalah berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual, yang terjadi dan berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat,” Sedangkan, apabila merujuk Pasal 5 UU PKDRT atau UU Nomor 23 Tahun 2004, menyebutkan bahwa KDRT adalah sebagai berikut: pertama, kekerasan fisik yang secara spesifik diatur Pasal 6, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

“Kedua, kekerasan psikis; dalam Pasal 7 disebutkan, yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang,” Ketiga, Pasal 8 berbunyi: kekerasan seksual termasuk pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain.

“Keempat, penelantaran rumah tangga, menurut Pasal 9 termasuk menimbulkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja.”
Lantas, kenapa saat ini kasus KDRT makin marak terjadi; siapa yang harus disalahkan dan bagaimana solusinya? Hal ini tentu menarik untuk kita kaji lebih mendalam.

Pemicu KDRT bisa terjadi karena suami atau istri kurang matang secara emosional; bisa juga karena masalah ekonomi atau rasa frustasi. KDRT tidak berdiri sendiri; selalu ada yang melatarbelakangi.

Dalam perspektif Islam, jelas dilarang tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menyebabkan cacat fisik; namun, perlu diteliti dulu sebab dan akibat yang terjadi.

Dalam Islam, bila seorang istri melanggar hak-haknya, seperti melanggar perintah suami di saat menyuruhnya mengerjakan ibadah wajib seperti salat, puasa, dan lain-lain; bila istri mengabaikan perintah tersebut, maka dibolehkan untuk memukulnya sebagai pukulan peringatan atau mendidik; namun, tidak dibolehkan memukul atas dasar egois, atau alasan tertentu selain melanggar perbuatan syar’i.

Rasulullah saw bersabda: Artinya, “Janganlah kalian memukul para wanita (istri-istri kalian)!” Kemudian Umar pun datang menemui Nabi saw dan berkata, “Para istri berani dan membangkang terhadap para suami!” Maka Nabi saw pun memberi keringanan kebolehan suami untuk memukul mereka; maka para istri pun dipukul. Akhirnya, banyak para istri yang berdatangan menemui istri-istri Nabi dan mengeluhkan suami mereka. Nabi pun berkata, “Sungguh para istri banyak yang telah mendatangi istri-istri Muhammad mengeluhkan tentang suami-suami mereka; mereka itu (para suami yang memukul) bukanlah yang terbaik di antara kalian.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Ada hal menarik yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab: Artinya, “Ini adalah dalil bahwa lebih baik menahan diri untuk tidak memukul istri; jika perlu, jangan terus menerus memukul satu bagian tubuh, dan hindari memukul pada bagian wajah, karena pada wajah terkumpul keindahan; dan tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Dikatakan bahwa pukulan harus dilakukan dengan saputangan atau tangan, bukan dengan cambuk, tongkat. Maka dalam hal ini, secara global, meringankan pukulan adalah lebih baik.” (Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid 16, hal. 450)

Berdasarkan pemahaman uraian di atas, bisa kita simpulkan bahwa memukul istri atas dasar mendidik dan tidak melukai atau menyakiti dibolehkan; namun, tidak memukul adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah. Sebagaimana dalam hadis berikut: Artinya, “Sungguh pukulan, meskipun dibolehkan karena moral buruk dari para istri, tetap saja sabar atas karakter mereka dan menahan diri dari memukul adalah yang paling utama dan paling baik.” (Ibnu ‘Allan, Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin, [Beirut: Darul Ma’rifah, 2004], jilid VI, hal. 130).

Agar keharmonisan dan keutuhan tetap terjaga, berikut solusi Imam Al-Ghazali agar mendapatkan jodoh yang baik: Menurut Imam Al-Ghazali: Artinya, “Adapun hal-hal yang menyenangkan kehidupan pasangan rumah tangga yang harus diperhatikan pada perempuan agar akad perkawinan menjadi langgeng dan tujuan perkawinan terpenuhi berjumlah 8 hal: yaitu ketaatan pada agama atau religiusitas, akhlak, kecantikan, keringanan mahar, kesuburan, status keperawanan, nasab, dan bukan kerabat dekat,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], juz II, halaman 43).

Delapan perkara yang tersebut di atas; yang menjadi aspek utama adalah agama. Dari beberapa hadis, jelas bahwa setiap permasalahan bukan diselesaikan dengan cara kekerasan, tetapi mencari solusi dengan baik dan bijak, apalagi dalam rumah tangga. Kemudian, lakukan konseling pranikah sesuai konsep syariat untuk saling mengetahui karakter suami dan istri; saling bersikap profesional dalam menyelesaikan setiap masalah yang terjadi, tidak saling mempertahankan egois. Tentunya, memperbaiki akhlak dengan menjadikan agama sebagai landasan kehidupan; dan ikuti akhlak Rasulullah SAW dalam mengatur keluarga.

 

Penulis adalah : Anggota DPW ISAD Aceh Barat
Ketua Forum Santri Aceh Barat MUDI
Staf Lajnah Bahatsul Masael LBM MUDI

Artikel ini telah dibaca 51 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

Membangun Kualitas Generasi Emas

13 September 2024 - 15:16 WIB

Mencari Pengganti Tusop di Pilkada Aceh

10 September 2024 - 13:24 WIB

PILKADA ACEH; DALAM DISKURSUS “PENGUASA” YANG “ALIM”

5 September 2024 - 15:08 WIB

Pilkada Aceh, Granat dan Pertaruhan Keamanan PON Aceh – Sumut

3 September 2024 - 06:17 WIB

Jaga Akidah Umat, Tolak Praktik Syirik di PON XXI Aceh

29 August 2024 - 20:18 WIB

Tasyakur Kemerdekaan

17 August 2024 - 17:24 WIB

Trending di OPINI