Oleh : Tgk Muhammad Ihsan Sulis
17 Agustus 2024 Republik Indonesia memasuki usia 79 tahun, usia yang tak lagi muda. Jika diumpamakan usia seorang manusia di zaman ini, tentunya sudah memasuki fase senja.
Mereka yang memahami tahapan dalam fase ini tentunya akan lebih menghargai dan memaksimalkan setiap fase yang ada, apalagi Kemerdekaan Republik ini diraih dengan keringat dan darah bahkan nyawa taruhannya, bukan didapat dengan mudah apalagi hadiah. Suasana haru kesyukuran dapat kita rasakan melalui pembukaan UUD 1945; “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
Secara genetik bangsa Indonesia mewarisi semangat heroik tinggi dari para Founding Father negeri ini. Karenanya bangsa ini juga harus menjadi pelanjut tonggak estafet bagi kemajuan negeri. Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia mesti diingat dan diajarkan dari generasi ke generasi karena ia adalah suluh bagi spirit kemajuan. Bung Karno kerap berujar; “Jas Merah! (Jangan sesekali melupakan sejarah)”. Ungkapan Ini mengingatkan kita bahwa mengenal sejarah adalah mengenal asal usul, mengenal nilai yang akan menjadi pegangan bagi generasi ke generasi. Hidup tanpa sejarah ibarat hidup tanpa nilai atau berlayar tanpa kompas, tak tahu mana hulu dan hilir
Dengan mengenal sejarah kita akan mengenal arti perjuangan dan pengorbanan juga akan melahirkan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang telah diraih. Bayangkan jika kita masih berada dalam penjajahan sampai detik ini, jangan berharap kita akan merasakan kedamaian, kenyamanan dan keamanan. Maka nikmat yang Allah SWT anugerahkan ini meski kita syukuri, bukan sekedar dilisan namun juga lewat anggota tubuh kita dengan meningkatkan amal kebaikan di setiap harinya.
Dalam Al Qur’an Allah SWT mengingatkan kita dengan kisah Nabi Musa AS:
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari pengikut-pengikut Fir’aun; mereka menyiksamu dengan siksa yang pedih dan menyembelih anak-anak laki-lakimu, dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; pada yang demikian itu suatu cobaan yang besar dari Tuhanmu”
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih.” (QS:14.6-7)
Dalam Ayat tersebut Allah SWT mengingatkan Bani Israil (ummat Nabi Musa) dengan segala nikmat yang ada, diantaranya nikmat diselamatkan dari kekejaman Fir’aun, nikmat diselamatkan anggota keluarga mereka dan nikmat-nikmat lainnya hingga diakhir ayat Allah SWT mengingatkan mereka bahwa jika mereka bersyukur niscaya Allah SWT akan menambahkan nikmat kepada mereka namun jika mereka kufur niscaya adzab Ku (Allah) sangat pedih
Ayat ini bukan sekedar mengingatkan ummat Nabi Musa namun demikian juga menjadi lampu merah bagi kita ummat Nabi Muhammad SAW agar semakin meningkatkan rasa syukur dengan segala nikmat yang telah Allah anugerahkan. Rasa Syukur kita terhadap nikmat kemerdekaan ini juga akan melahirkan rasa cinta terhadap tanah air (nasionalisme) yang mana ia merupakan bagian dari keimanan kita kepada Allah SWT.
Baginda Rasulullah SAW sendiri adalah orang yang sangat mencintai tanah airnya (Mekkah), dalam sebuah riwayat disebutkan ketika Rasulullah SAW hijrah dari Mekkah menuju Madinah, Rasulullah SAW menangis sedih karena harus meninggalkan Mekkah tanah kelahirannya. Tangis ini tidaklah muncul jika bukan karena kecintaan, bahkan menariknya ketika Rasulullah SAW sampai di Madinah Rasulullah SAW memanjakan sebuah doa: “Ya Allah tambahkan kecintaanku kepada Madinah sebagaimana kecintaan ku kepada Mekkah” (HR. Bukhari, Muslim)
Demikian Rasulullah SAW mencontohkan kepada kita kecintaan terhadap tanah air, tempat dimana kita bersembah sujud, menunaikan kewajiban kepada Sang Khaliq juga berinteraksi dengan setiap makhluk-Nya, inilah gambaran kesyukuran yang layak kita ikuti. Rasa syukur tidak akan lahir kecuali dengan mentafakkuri segala nikmat yang ada, sebuah adagium dalam bahasa Arab berbunyi: Tazakkar likulli ni’mah zawalaha (ingatlah sebuah nikmat degan merenungi kehilangannya).
Syukur yang kita pupuk pada hakikatnya juga kembali kepada kita, bukan kepada Allah SWT, dengan tegas Allah SWT mengingatkan kita dalam sebuah hadis qudsi:
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalau seandainya orang-orang pertama di antara kalian dan orang-orang terakhir (belakangan) baik manusia atau jin semua berada pada satu hati yang paling bertakwa diantara kalian, tidaklah hal itu menambah atas kerajaan (kekuasaan)-Ku sedikitpun. Wahai hamba-hamba-Ku, jika orang-orang yang pertama dan terakhir dari kalian semua berada pada satu hati yang paling durhaka diantara kalian, tidaklah hal itu akan mengurangi kerajaan (kekuasaan)-Ku sedikitpun” (HR. Muslim).
Karena kesyukuran kita kepada nikmat kemerdekaan adalah wujud ketaqwaan yang harus kita tampakkan dengan meningkatnya amal-amal kebaikan, bukan semata kebaikan individual namun juga yang bentuknya sosial. Dalam hadis yang lain Baginda Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya Allah senang melihat bekas nikmat-Nya pada hamba-Nya ” (HR. Tirmidzi). Dengan demikian rasa syukur kita juga mendatangkan rasa senang Allah juga kasih sayang Allah SWT
Ada beberapa cara bersyukur yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, diantaranya dengan menunjukkan kesenangan (Syukur Qalb), tahapan ini menuntut kita agar menjadi pribadi yang ceria, senang dan bahagia dengan nikmat yang ada karena itu merupakan tanda syukur, tahapan kedua dengan memuji Tuhan dengan lisan (Syukur Lisan) seumpama mengucap Alhamdulillah (segala puji bagi Allah SWT) mengaitkan segala nikmat yang ada dengan lisan semata-mata karena Allah SWT dan ketiga syukur anggota badan (Syukur Jawaarih) yaitu dengan meningkatkan amal shaleh kita, baik yang sifatnya individual maupun sosial
Disamping itu tanda kesyukuran juga adalah dengan meningkatkan kualitas diri, terutama dengan semangat membangun budaya ilmu pengetahuan, tidak ada bangsa besar yang bertahan dan harum kecuali dengan membangun budaya ilmu yang kuat. Momentum kemerdekaan sejatinya juga menjadi refleksi bagi pendidikan bangsa. Sejauh mana pendidikan dirasakan merata oleh anak-anak bangsa dan semangat anak-anak bangsa terhadap ilmu pengetahuan, pendidikan yang baik akan melahirkan tatanan masyarakat yang baik pula.(*)
*Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kota Langsa dan Pengurus ISAD Kota Langsa 2022-2027