HARIANRAKYATACEH.COM – Hati nurani masyarakat di India bisa dikatakan sudah tidak ada. Kasus pemerkosaan sudah mengenaskan di India. Ada ribuan kasus pemerkosaan di India setiap tahun.
Menurut data dari National Crime Records Bureau (NCRB), sejak terjadinya serangan pada 2012, polisi di India mencatat telah terjadi hingga 25.000 kasus pemerkosaan per tahun di seluruh negara setempat.
Sejak saat itu, jumlah tiap tahun mayoritas tetap berkisar di atas 30.000, kecuali 2020 saat pandemi Covid-19 yang mengalami penurunan tajam. Artinya, setiap 15 menit satu perempuan di India jadi korban rudapaksa.
Puncak kasus kekerasan seksual di negara yang dikenal dengan film Bollywood itu dialami seorang dokter muda pada 9 Agustus lalu. Dokter itu bertugas di rumah sakit India. Dia bertugas dalam sif selama 36 jam. Lantas dokter berusia 31 tahun itu ditemukan dalam kondisi mengenaskan setelah menjalani tugas selama 36 jam di RS milik pemerintah di timur Kolkata.
Dokter itu diketahui dibunuh. Jenazahnya ditemukan di aula seminar RS pendidikan di Kolkata. Disebutkan bahwa dokter malang itu pergi ke sana untuk beristirahat setelah menjalani sif 36 jam. Hasil otopsi mengonfirmasi adanya serangan seksual. Dalam petisi ke pengadilan, orang tua korban mengatakan bahwa mereka menduga putri mereka diperkosa beramai-ramai.
Aksi biadab itu lantas memicu kemarahan dokter di seluruh penjuru negeri. Protes tersebut juga diikuti oleh puluhan ribu warga sipil India yang menuntut adanya tindakan tegas. Di Kolkata, ribuan orang mengadakan acara peringatan dengan menyalakan lilin hingga Sabtu pagi.
“Tangan yang menyembuhkan tidak boleh berdarah,” demikian bunyi salah satu spanduk yang dipegang oleh seorang pengunjuk rasa. “Sudah cukup,” tulis spanduk lain oleh para dokter saat berdemo di New Delhi. “Gantung si pemerkosa,” tulis spanduk lainnya.
Hentikan Layanan Medis Selama 24 Jam
Banyak serikat medis, baik lingkup pemerintah maupun swasta, yang mendukung aksi mogok kerja massal itu. Pada Sabtu (17/8) pagi waktu setempat, Asosiasi Medis India (IMA) memperluas aksi protes, terutama mogok kerja para dokter, dengan penarikan layanan secara nasional selama 24 jam dan penangguhan semua prosedur non-esensial.
“Kami meminta pengertian dan dukungan bangsa dalam perjuangan keadilan bagi para dokter dan anak-anak perempuan,” tegas Kepala IMA R.V. Asokan dalam pernyataannya.
IMA menyebut pembunuhan itu sebagai aksi biadab. “Tugas sif selama 36 jam yang dijalani korban dan kurangnya tempat yang aman untuk beristirahat memerlukan perombakan menyeluruh terhadap kondisi tempat kerja dan kehidupan para dokter residen,” tutur IMA. Para dokter juga menuntut penerapan UU Perlindungan Pusat, sebuah UU untuk melindungi para tenaga kesehatan dari kekerasan. (dee/c17/tia)