Oleh : Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si
Guru Besar Ilmu Ekonomi, Dewan Pakar Pusat Riset Komunikasi Pemasaran, Parawisata dan Ekonomi Kreatif LPPM Universitas Syiah Kuala (USK) serta Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
Wali Nanggroe adalah sebuah lembaga adat yang memiliki akar sejarah panjang di Aceh, sebuah provinsi di ujung paling barat Indonesia yang menerapkan syariat Islam. Lembaga ini dipandang sebagai simbol kedaulatan dan kehormatan rakyat Aceh, yang telah ada sejak masa Kesultanan Aceh. Pada masa itu, Wali Nanggroe bertindak sebagai pemimpin spiritual dan politik, memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas budaya, hukum adat, serta kedaulatan wilayah Aceh dari pengaruh luar, termasuk penjajah.
Setelah era kolonialisme dan kemudian kemerdekaan Indonesia, peran Wali Nanggroe mengalami perubahan. Namun, kebangkitan kembali lembaga ini pada awal abad ke-21, khususnya pasca penandatanganan Perjanjian Damai Helsinki pada tahun 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, menandai titik balik yang signifikan. Dalam konteks ini, Wali Nanggroe diakui sebagai simbol rekonsiliasi, pemersatu, dan penjaga perdamaian.
Wali Nanggroe dapat melakukan sejumlah langkah strategis yang melibatkan berbagai aspek kehidupan masyarakat, pemerintahan, serta lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan. Untuk itu menyusun dan mengawasi kebijakan yang lebih komprehensif terkait pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Regulasi dan penetapan pedoman yang jelas dan spesifik untuk memastikan bahwa hukum-hukum Syariat diterapkan secara konsisten dan sesuai dengan nilai-nilai Islam serta adat Aceh. Dengan melibatkan ulama dan pakar hukum Islam, Wali Nanggroe dapat membantu memastikan bahwa kebijakan yang dibuat mencerminkan ajaran Islam yang benar dan adil.
Sangat perlu mendorong penguatan peran lembaga-lembaga keagamaan, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan institusi pendidikan Islam, untuk memberikan bimbingan spiritual dan hukum kepada masyarakat. Ini termasuk mendukung program-program dakwah yang mendidik masyarakat tentang pentingnya penerapan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari serta menguatkan penegakan hukum Syariat secara bijaksana.
Sangat perlu untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan dengan adil, transparan, dan tidak diskriminatif. Jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan dalam penerapan hukum Syariat, Wali Nanggroe dapat memberikan arahan atau nasihat kepada pihak berwenang untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Dalam ranah politik, Wali Nanggroe memainkan peran strategis sebagai mediator dan penjaga stabilitas politik di Aceh. Setelah penandatanganan MoU Helsinki, Wali Nanggroe diamanatkan untuk memastikan bahwa hasil-hasil perjanjian tersebut diimplementasikan secara adil dan sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh. Wali Nanggroe juga memiliki fungsi sebagai penengah dalam konflik politik internal, yang dapat muncul antara pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat, atau antara berbagai kelompok politik di Aceh.
Keterlibatan Wali Nanggroe dalam politik juga terlihat dalam kemampuannya untuk mengangkat isu-isu penting terkait otonomi daerah dan hak-hak istimewa Aceh di tingkat nasional. Wali Nanggroe sering kali menjadi suara yang kuat dalam menyuarakan kepentingan rakyat Aceh, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam, penerapan syariat Islam, serta perlindungan budaya dan bahasa Aceh.
Selain dalam politik, Wali Nanggroe memiliki peran yang sangat penting dalam melestarikan dan mengembangkan budaya serta adat istiadat Aceh. Sebagai simbol kearifan lokal, Wali Nanggroe bertanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai tradisional dan adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Dalam era globalisasi, peran ini semakin penting untuk memastikan bahwa identitas budaya Aceh tidak terkikis oleh pengaruh negatif terhadap perkembangan global.
Wali Nanggroe juga berperan dalam mempromosikan kesatuan sosial di antara masyarakat Aceh yang terdiri dari berbagai etnis dan suku. Dalam hal ini, Wali Nanggroe bertindak sebagai pemersatu yang mendorong dialog dan kerja sama antar kelompok masyarakat. Peran ini menjadi krusial dalam menjaga harmoni sosial, terutama di wilayah yang pernah mengalami konflik berkepanjangan.
Selain itu, Wali Nanggroe terlibat aktif dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan Aceh melalui dukungan terhadap kegiatan-kegiatan seni, literasi, dan pelestarian bahasa daerah. Program-program ini tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan warisan budaya, tetapi juga untuk membangun kebanggaan dan identitas kolektif masyarakat Aceh di era modern.
Wali Nanggroe dapat memainkan peran penting dalam mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan di Aceh, yaitu dapat dilakukan dengan mempromosikan praktik pertanian yang ramah lingkungan dan efisien, seperti penggunaan teknologi pertanian modern, rotasi tanaman, dan penggunaan pupuk organik. Wali Nanggroe juga dapat mendukung pengembangan program pelatihan bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian.
Ketahanan pangan sangat bergantung pada infrastruktur yang memadai, seperti irigasi, jalan akses ke pasar, dan penyimpanan hasil pertanian. Wali Nanggroe dapat berperan dalam mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan dan memperluas infrastruktur pertanian ini. Selain itu, Wali Nanggroe bisa menjadi jembatan antara petani dan pihak swasta untuk menarik investasi dalam pengembangan infrastruktur pertanian.
Untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis pangan dan meningkatkan ketahanan pangan, Wali Nanggroe dapat mendorong diversifikasi produksi pangan di Aceh. Ini bisa melibatkan promosi penanaman berbagai jenis tanaman pangan lokal yang memiliki nilai gizi tinggi dan sesuai dengan kondisi iklim Aceh. Diversifikasi ini juga dapat mengurangi risiko kelangkaan pangan jika satu jenis tanaman mengalami kegagalan panen.
Program ketahanan pangan lokal yang melibatkan masyarakat dalam upaya penanaman pangan di lahan-lahan kosong, seperti pekarangan rumah dan tanah desa yang tidak produktif sudah saatnya untuk diterapkan secara nyata. Program tersebut mencakup pelatihan berkebun, dukungan bibit, dan alat-alat pertanian, serta pengembangan komunitas pangan lokal yang mandiri.
Penjaga Perdamaian dan Rekonsiliasi
Wali Nanggroe juga memiliki peran sentral dalam proses perdamaian dan rekonsiliasi di Aceh. Pasca konflik yang berlangsung selama beberapa dekade, masyarakat Aceh membutuhkan figur yang dapat menjadi simbol perdamaian dan rekonsiliasi. Wali Nanggroe berperan dalam memfasilitasi dialog antar kelompok yang pernah berkonflik, serta mempromosikan pendekatan damai dalam menyelesaikan perselisihan.
Dalam konteks ini, Wali Nanggroe tidak hanya berfungsi sebagai simbol, tetapi juga sebagai aktor yang aktif dalam mendorong inisiatif-inisiatif rekonsiliasi, termasuk melalui program-program yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antar komunitas, memperbaiki ekonomi pasca konflik, dan mempromosikan keadilan sosial.
Tantangan dan Peluang ke Depan
Namun demikian, peran strategis Wali Nanggroe tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana lembaga ini dapat tetap relevan di tengah dinamika politik dan sosial yang terus berubah. Selain itu, ada juga tantangan dalam memastikan bahwa Wali Nanggroe tidak hanya berfungsi sebagai simbol, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Di sisi lain, Wali Nanggroe memiliki peluang besar untuk memperkuat posisinya sebagai penjaga identitas dan kedaulatan Aceh, terutama dalam menghadapi isu-isu globalisasi dan modernisasi yang dapat mengancam nilai-nilai tradisional. Dengan memanfaatkan teknologi dan jaringan komunikasi modern, Wali Nanggroe dapat memperluas pengaruhnya tidak hanya di Aceh, tetapi juga di tingkat nasional dan internasional.
Secara keseluruhan, Wali Nanggroe memegang peran strategis yang multifaset bagi masyarakat Aceh. Sebagai simbol kebudayaan, politik, dan perdamaian, Wali Nanggroe tidak hanya menjadi penjaga warisan leluhur, tetapi juga aktor penting dalam membentuk masa depan Aceh yang lebih damai, sejahtera, dan bermartabat. Perlu menyusun dan mengawasi kebijakan yang lebih komprehensif terkait pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Tantangan yang dihadapi lembaga ini memang tidak sedikit, tetapi dengan komitmen yang kuat dan dukungan dari masyarakat, Wali Nanggroe memiliki potensi besar untuk terus berperan sebagai pilar penting dalam kehidupan agama, sosial dan politik Aceh di masa depan.<[email protected]>