Oleh : Dr. Wiratmadinata, S.H.,M.H.
PAGI hari, 2 September 2024, kopi pagi saya benar-benar pahit, baik rasa maupun nuansanya. Hampir saja saya campakkan cangkirnya, tersebab sebuah “breaking news, dari salah satu media online memberitakan; “Rumah Cagub Bustami Hamzah Dilempari Granat”. “What?” teriak saya dalam hati. “Hari begini, masih ada berita seperti ini?”.
Padahal sudah jauh-jauh hari saya mulai yakin, setelah 20 tahun damai di Aceh, sejak tahun 2005, yang artinya ada empat (4) kali Pemilihan Gubernur; mestinya politik Aceh sudah semakin dewasa, semakin matang, semakin intelek dan semakin berperadaban. Perspektif ini harusnya jadi tanggungjawab semua pihak, terutama rakyat Aceh sendiri, elit politik bahkan Pemerintah Pusat. Atau justru ini bukan soal politik? Semua serba mungkin, meski dalam tanda tanya?
Setelah merenung sejenak, sambil menerawang dan mengira-ngira, kearah mana cerita ini akan bergulir, hal pertama yang saya lakukan adalah; memeriksa komentar publik. Saya periksa semua channel Media Sosial, grup WA, dan lain-lain. Pandangan mereka secara umum ada dua jenis; pertama; sangat tidak bersimpati, dan menganggap ini adalah tindakan bodoh, dan politik kuno yang ketinggalan jaman; tidak seharusnya model-model teror seperti ini dilakukan dalam Pilkada kali ini. Kita masih ingat peristiwa kekerasan menjelang Pemilu tahun 2012 yang memilukan itu. Semoga jangan terjadi lagi. Sementara kelompok kedua, mengomentarinya dengan pendekatan “teori konspirasi”; bahwa ini disengaja, untuk melakukan “playing victim” dari pihak korban. Ah, ini juga sangat spekulatif.
Tapi apapun komentarnya, bagi saya spekulasi-spekulasi liar itu justru tidak penting. Hanya penjelasan polisilah yang absah dan bisa dipertanggungjawabkan. Yang pasti; dari sudut kepentingan rakyat Aceh secara keseluruhan; berita ini berpotensi membangkitkan kembali persepsi buruk di luar Aceh; bahwa propinsi ini masih belum aman.
Bayangkan, belum apa-apa berita sudah viral secara nasional. Lihat saja Metro TV segera meliput ke lokasi dan menyiarkan secara nasional, serta nyaris semua media online memblow-up berita ini. Oleh karena itu, saya justru lebih fokus pada soal bagaimana persepsi publik akan terframing secara salah, apabila hal seperti ini tidak segera ditangani dengan tuntas.
Pasalnya; situasi ini terjadi justru terjadi di tengah-tengah fokus seluruh elemen pemerintah dan masyarakat, sedang tertuju pada kegiatan PON XXI Aceh-Sumut. Bahkan beberapa Cabang Olaharaga (Cabor), sudah mulai dipertandingkan.
Alangkah memalukannya, saat semua mata sedang tertuju ke Aceh, berita pelemparan granat terjadi ke rumah Cagub Aceh yang juga mantan Pj. Gubernur Aceh, Bustami Hamzah. Bahkan, selama PON, para Gubernur bersama Porkofimdanya dari seluruh Indonesia akan hadir di Aceh. Ada ribuan atlet dan crew juga sudah dan sedang bergerak, membanjiri Aceh sejak pertengahan Agustus lalu, meski secara resmi PON baru dibuka pada 8 September mendatang. Apa jadinya nanti, jika berita ini mengganggu pertimbangan orang yang sudah berencana datang ke Aceh?
Jadi, peristiwa pelemparan granat ke rumah Om Bus, Cagub yang juga mantan Pj. Gubernur ini sebenarnya spektrumnya tidak lagi hanya Pilkada Gubernur, tapi justru lebih serius lagi; terkait soal keamanan pelaksanaan PON XXI-Aceh-Sumut, juga soal perdamaian jangka panjang di Aceh, yang sudah susah payah dibangun oleh seluruh rakyat dan pemerintah. Yang paling buruk, imej Aceh di luar daerah akan semakin terpuruk, negatif dan memalukan.
Oleh karena itu, pelaku pelemparan granat tersebut, posisinya bukan lagi hanya sebatas musuh Om Bus yang rumahnya dilempari granat, tapi justru sudah menjadi musuh rakyat dan musuh negara. Sebab pelaksanaan PON dan agenda pembangunan perdamaian berkelanjutan adalah agenda rakyat, dan juga agenda bangsa yang memiliki nilai strategis dalam konteks kepentingan nasional. Ini adalah tantangan bagi aparat penegak hukum secara umum, khususnya Polisi. Oleh karena itu, tidak perlu ada komentar kontraproduktif, seperti yang beredar di Medsos dalam bentuk video atau tulisan, yang menuduh bahwa peristiwa ini terkesan direkayasa; padahal itu hanya asumsi dan bukan fakta. Biarlah pihak otoritas keamanan yang nanti menjelaskan fakta yang sudah diverifikasi.
Sebagai bagian dari warga Aceh yang cinta damai, dan notabene, ikut berpartisipasi dalam upaya membangun proses Aceh damai sejak masa konflik, perasan saya terganggu, kesal dan geram. Pasalnya, sejak proses awal Pilkada Aceh mulai bergulir, amatan saya semuanya berlangsung dalam iklim demokrasi yang baik, dalam arti tidak ada polemik tajam antar kelompok. Bahkan setelah masing-masing pasangan mendaftar ke KIP hingga tulisan ini saya buat, tidak ada friksi yang menguatirkan baik dari kelompok Mualem maupun Kelompok pendukung Om Bus. Tidak ada hoax, tidak ada hate speech, tidak ada fitnah, apalagi mobilisasi kekerasan dari setiap kontestan.
Kalaupun ada “insiden media”, terkait video Mualem yang kalimatnya tidak begitu sempurna sehingga menjadi bahan canda, tensinya masih terjaga. Memang ada sindir-menyidir antara para kelompok pendukung, tapi masih dalam tataran “canda-tawa” juga, artinya secara keseluruhan masih kondusif; sampai pada berita pagi Senin, yang membuat kopi pagi saya benar-benar tidak nikmat lagi.
Setelah 20 tahun pasca konflik, saya percaya sebagian rakyat Aceh, sudah belajar; kekerasan memang tidak membawa Aceh kemana-mana, kecuali kesedihan. Justru perdamaianlah yang telah membuka ruang nafas kreatifitas untuk mengambil tempat dan berkontribusi bagi kepentingan bersama, meskipun masih ada yang “top kloe”, tak peduli dan tak berperasaan. Tapi tampaknya ini hanya sebagian kecil warga saja. Minoritas; orang yang memang bermental perusak.
Sungguh tidak bisa kita bayangkan apakah Aceh bisa menjadi tuan rumah PON XXI yang sekarang sedang di depan mata; jika konflik masih bertahta, kegembiraan tidak ada, alam semesta dipenuhi angkara murka, rakyat ketakutan dan tidak bisa mencari nafkah.
Semoga orang Aceh tidak lupa. Konflik itu pahit; Damai adalah jalan menuju damai itu sendiri, meski panjang dan berliku. Seorang penulis buku Amerika kontemporer menulis dalam bukunya; “Peace is the way” (Damai itulah jalan bagi damai itu sendiri), dalam buku dengan judul yang sama. Artinya, kekerasan tidak akan pernah membawa kita pada tujuan yang damai.
Oleh karena itu, rekomendasi saya pasca insiden ini; KIP Aceh kembali mengundang para kandidat Gubernur/Wakil, dan seluruh kontestan Calon Bupati/Wakil Bupati, serta Calon Walikota/Wakil Walikota, untuk menyatakan fakta integritas menyelenggarakan “Pilkada Damai Aceh -2024”; lawan kecurangan, lawan kekerasan dan lawan segala bentuk teror yang merugikan rakyat Aceh sendiri. Jika mereka melanggar, mereka bukan hanya melanggar UU Pilkada, tapi juga merusak agenda PON XXI, mengkhianati amanah rakyat dan melawan negara. Pilkada ini terlalu kecil urusannya, jika harus merusak agenda nasional, juga keamanan dan kedamaian rakyat, yang susah payah kita bangun dengan darah dan air mata.
Dalam Pilkada Aceh, harus diantisipasi agar tidak ada penindasan atas dasar hegemoni politik, melalui teror mental atau fisik, sebab; akal sehat, keimanan dan kemanusiaan kita, sejak awal sudah menolak hal tersebut. Damai adalah fitrah manusia. Dan konflik adalah fitrahnya Iblis. Wallahu’alam, bi sawab.