Oleh : Arif Ramdan*
Di tengah gemuruh kehidupan, ketika banyak orang terjebak dalam kenyamanan, ada sosok yang tak kenal lelah mengorbankan segalanya demi masa depan anak-anak yatim dan dhu’afa di Aceh.
Namanya Umar Rafsanjani. Ia tidak hanya seorang pemimpin, tapi juga seorang ayah, suami, dan pengasuh bagi puluhan anak yang nasibnya terlantar setelah gelombang bantuan asing pasca tsunami perlahan hilang.
Umar bersama santrinya harus berpindah tempat sampai sebanyak lima kali, bukan di rumah-rumah megah atau tempat yang layak, melainkan mulai toko yang lebih mirip gudang, di mana Umar, istrinya dan empat anaknya saat itu tinggal dalam keterbatasan, bayangkan saja, Umar dan keluarganya harus tidur dalam satu ruangan sempit bersama puluhan santri yang ia asuh.
Keadaan yang mungkin bagi sebagian besar orang tak terbayangkan, namun bagi Umar, itulah harga yang harus dibayar demi memastikan anak-anak ini tetap mendapatkan pendidikan.
Ujian yang dihadapi Umar tidak berhenti di soal tempat tinggal dan kebutuhan makan santri. Ia juga harus menghadapi berbagai konflik pribadi, mulai dari perselisihan dalam keluarga, hingga hubungan yang retak dengan beberapa guru yang dulu mendukungnya. Tidak jarang, Umar menghadapi pengkhianatan dan fitnah dari orang-orang yang ia bantu dan ia besarkan. Mereka yang pernah ia didik, layaknya sapi yang diselamatkan dari jebakan sumur tua, justru menanduknya setelah berhasil bangkit.
Pengkhianatan dari orang-orang yang ia percayai dan bantu menambah luka dalam perjuangannya, namun Umar tetap memilih bertahan.
Dalam perjalanan memperjuangkan pendidikan ini, Umar pun harus sering bolak-balik ke Malaysia, bukan untuk bekerja atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mengetuk pintu-pintu masjid dan surau, memohon sumbangan demi memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan para santrinya. Sebuah pilihan yang berat, terlebih ketika ia harus meninggalkan pendidikannya sendiri.
Padahal, Umar telah terdaftar dalam program doktor di Universiti Utara Malaysia. Namun, sekali lagi, bagi Umar, pendidikan anak-anak yatim dan dhu’afa lebih berharga daripada gelar yang ia impikan.
Kondisi paling berat datang ketika Umar dan keluarganya tinggal di pinggiran Sungai Lamnyong, Rukoh, Banda Aceh. Dengan kehidupan yang serba sulit, ia tetap tak gentar. Kini, perjuangan Umar terwujud dalam Lembaga/Yayasan yang ia beri nama “Dayah Mini Aceh”, sebuah tempat sederhana namun penuh cinta yang menjadi rumah bagi santri-santri yatim dan dhu’afa berlokasi di Gampong Alue Naga, Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Di tempat itulah, ia melanjutkan semangat pendidikan yang dulu pernah diusung NGO asing setelah tsunami menghantam Aceh.
Kisah hidup Tgk. Umar Rafsanjani mengajarkan kita tentang keteguhan hati, pengorbanan, dan cinta yang tak terbatas bagi sesama. Ia adalah bukti hidup bahwa kesulitan tak pernah menjadi alasan untuk menyerah dalam berbuat baik. Sebaliknya, dari segala keterbatasan, Umar menemukan kekuatan untuk terus berjuang, menjadikan pendidikan sebagai warisan terindah bagi mereka yang paling membutuhkan.
Semoga tulisan ini bisa lebih menggugah dan menggambarkan bagaimana perjuangan seorang Guru yang penuh pengorbanan dan keikhlasan yang mendalam untuk memberi manfaat antar sesama insan demi mengharapkan ridha Allah Tuhan pencipta sekalian alam. Amin!
*Penulis Buku, Umar Rafsanjani Tgk. Pelintas Batas