BANDA ACEH – Dari 423 ribu hektar perkebunan sawit di Aceh, hanya 48 persen yang dimiliki oleh perusahaan besar. Sisanya merupakan perkebunan masyarakat, yang menghidupi lebih dari 146 ribu kepala keluarga.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Azanuddin Kurnia SP MP membuka diskusi Forum Group Discussion (FGD) tentang “Menyukat Tantangan dan Peluang Hilirisasi Kelapa Sawit di Aceh oleh Forum Jurnalis Ekonomi Aceh (JEA) di Banda Aceh, Jumat (11/10/ 2024).
“Terkait hilirisasi, Aceh memiliki 65 Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Namun sampai saat ini semua hasil produksi CPO dibawa keluar Aceh,” tambahnya.
Hal tersebut dibenarkan Fadhil Ali, Wakil Sekjen DPP APKASINDO Aceh. “Faktanya, sejak tahun 1901, industri kelapa sawit telah ada di Aceh, tepatnya di Sungai Liput, Aceh Tamiang. PKS tersebut dibangun dibawah Socfindo. Namun dari sekitar 150-an turunan hasil olahan CPO, satupun belum ada di Aceh.”
“Ini juga berpengaruh pada harga TBS yang dipanen oleh petani kita. Dari harga penetapan Rp 2.900,-, petani hanya dapat menjual sekitar Rp. 2.200, – sampai Rp. 2.300, “ paparnya menambahkan.
Ada sejumlah kendala yang muncul terkait harga TBS. Dari rantai penjualan di tingkat petani hingga sampai ke PKS. “CPO yang dikirimkan ke Medan, bahkan membutuhkan jarak lebih 1.000 km. Hal-hal tersebut menekan harga jual di tingkat petani sawit.”
PT PEMA Ekspor Cangkang ke Jepang
Menjawab permasalahan hilirisasi tersebut, Manajer Industri dan Perdagangan Sadikin Nugraha, SE. MBA dari PT PEMA mengakui ada beberapa kendala saat melakukan pedalaman terkait ketersediaan bahan baku.
Ia menyebutkan, “Perusahaan yang menghasilkan CPO, telah memiliki kontrak jangka panjang dengan industry dari luar Aceh. Jadi ini perlu perhatian dan pendekatan khusus agar kita dapat memiliki industry hilir terutama pengolahan minyak goreng”.
Sadikin menambahkan, “Untuk saat ini, kita sedang berupaya mempersiapkan ekspor cangkang ke Jepang. Dengan target mencapai 100 ribu ton dalam setahun melalui pelabuhan Krueng Geukuh, Lhokseumawe pada tahun 2025”.
Diketahui total potensi produksi cangkang sawit di Aceh mencapai 800 ribu ton per tahun. “Nantinya pihak yang melakukan ekspor adalah anak perusahaan PEMA, yakni Global Servis (PGS yang fokus di bidang jasa dan perdagangan. Dari ekspor tersebut, keuntungannya akan kembali ke daerah dengan perkiraan kontribusi mencapai 7-8 persen,” katanya.
“Setelah tahap awal tersebut selesai, PT PEMA akan focus pada tahap berikutnya, yaitu membangun Industri Hilir Kelapa Sawit, dengan membangun pabrik minyak goreng”, tutupnya.
Sekdis Pertanian dan Perkebunan Aceh, Azanudding Kurnia dalam diskusi menyatakan, “Bahwa luas perkebunan sawit di Aceh mencapai 423 juta ha, sedangkan jumlah produksi CPO, sekitar 50 juta ton/tahun. Namun Aceh, secara Pendapat Asli Daerah (PAD) bisa dikatakan tidak ada,” dalam FGD yang diadakan oleh Forum Jurnalis Ekonomi Aceh (JEA) yang bertemakan “Menyukat Tantangan dan Peluang Hilirisasi Kelapa Sawit di Aceh, Jumat (11/10/2024)
Hal tersebut ia ungkapkan saat menjawab pertanyaan seorang peserta FGD terkait besaran PAD Aceh dari sector kelapa sawit.
“Ini pernah ditanyakan saat saya di undang oleh pihak Polda dan Kejaksaan, terkait PAD dari perkebunan sawit. Bisa di cek ke kantor Pajak, pasti tidak ditemukan,” tegasnya.
Untuk itu, diperlukan regulasi dan dukungan dari pemerintah daerah dalam mensiasati kondisi tersebut, “Salah satunya adalah dengan membangun industry hilir. Ini kerja berat, namun harus kita lakukan. Dan saya berharap PT PEMA melakukan terobosan ini”.
Senada juga diungkapkan, Wakil Sekjen DPP APKASINDO Aceh, Fadhil Ali. “Dengan adanya isndutri hilir, tentunya petani sawit memiliki harapan yang lebih besar. Tidak terus menerus tergerus dengan fluktuasi harga,” tambahnya.
Terkait permasalahan tersebut, Manajer Industri dan Perdagangan PT PEMA Sadikin Nugraha menjelaskan bahwa program hilirisasi sudah mulai dilakukan. “Untuk tahap awal, kita melakukan eksport cangkang yang akan direncanakan pada Februari 2025”.
“Jadi saat ini, PT PEMA sedang mempersiapkan rencana ekspor ke Jepang. Awalnya akan dilakukan via Pelabuhan Langsa. Namun karena ada beberapa kendala teknis, maka kegiatan eksport dipindahkan Krueng Geukuh”.
Ia pun menyebutkan, “Dari pendalaman, total potensi produksi cangkang sawit di Aceh mencapai sebesar 800 ribu ton per tahun. Namun untuk awal kita menargetkan 100ribu ton selama tahun 2025 yang diperkirakan bernilai Rp 1.2 Triliun”.
Dari ekspor, pihaknya berkomitmen bahwa sebagian pendapatan akan kembali ke daerah, dengan kontribusi mencapai kisaran 7-8 persen.
Sadikin menambahkan bahwa perusahaan yang menjalankan ekspor ini akan dilakukan oleh anak perusahaan PEMA, yakni Global Servis (PGS), yang fokus di bidang jasa dan perdagangan
Dari pemetaan bisnis dan penawaran yang telah dilakukan oleh PT PEMA, “Untuk membangun satu industry pengolahan minyak goreng, diperlukan biaya sekitar Rp 150 Milyar dengan target produksi sekitar 80 ribu ton”.
Menurut Sadikin, PEMA telah melakukan kajian mendalam terkait proyek ini, meskipun masih menghadapi tantangan dalam mendapatkan pasokan CPO (Crude Palm Oil). “Kita hanya membutuhkan 5-10 persen dari total produksi CPO, atau sekitar 80 ribu ton per bulan. Dengan itu, pabrik minyak goreng yang kita rancang bisa memproduksi antara 50-100 ribu ton per bulan,” kata Sadikin. (rz)