Peluncuran Film Dokumenter 17 Sweet Letters
di COP 16 to the Convention on Biological Diversity
KOLOMBIA | RAKYAT ACEH – 17 Sweet EHLetters” atau “17 Surat Cinta”, film dokumenter pembuat film peduli lingkungan dari Indonesia dipertontonkan pertemuan ke-16 Konferensi Para Pihak Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati (COP 16 to the Convention on Biological Diversity), Kamis , 30 Oktober 2024.
Film dokumenter ini dibuat oleh Ekspedisi Indonesia Baru bekerja sama dengan berbagai organisasi lingkungan seperti Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan HakA, Greenpeace Indonesia dan Pusaka Bentala Rakyat.
Film ini mengajak penonton menjelajahi sisi lain dari perlindungan lingkungan di Indonesia dan efisiensi efisiensi penetapan wilayah konservasi dalam menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati dari ancaman deforestasi.
17 Surat Cinta mengangkat kisah nyata perjuangan masyarakat sipil yang telah mengirimkan 17 surat dan laporan kepada otoritas terkait, terutama Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, melaporkan deforestasi ilegal yang terus berlangsung di SM Rawa Singkil, Aceh.
Wilayah ini merupakan hutan gambut yang menjadi bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser serta satu-satunya ekosistem yang terjadi secara bersama oleh megafauna badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), gajah (Elephas maximus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae) dan orangutan sumatera (Pongo abelii) .
Meski suaka satwa liar mengklasifikasikan kawasan paling dilindungi, nyatanya aktivitas pengrusakan hutan di SM Rawa Singkil masih terus terjadi. Film ini juga mengangkat permasalahan besar yang terjadi di SM Rawa Singkil seperti ekspansi perkebunan sawit ilegal untuk memasok berbagai perusahaan besar.
Farwiza Farhan, Direktur Yayasan HakA mengungkapkan kekhawatirannya terhadap aktivitas ilegal tersebut yang mencerminkan lemahnya penegakan hukum di wilayah yang dianggap “suci” bagi konservasi ekosistem dan keanekaragaman hayati.
“Jika perusakan ini terus dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan ekosistem kritis, tetapi juga mengancam hilangnya nyawa masyarakat setempat yang bergantung pada hutan ini,” ujar Farwiza Farhan.
Tragedi deforestasi di SM Rawa Singkil ini memperkuat peninggalan Museum Sejarah Nasional perihal semakin menurunnya keutuhan kawasan konservasi (keutuhan keanekaragaman hayati) di dunia.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah tidak berarti lebih baik bagi keanekaragaman hayati, oleh karena itu pemerintah Indonesia perlu mendorong dan merekognisi wilayah yang telah dikonservasi oleh adat dan komunitas lokal yang telah lama terbukti lebih efisien dalam mengkonservasi keanekaragaman hayati.
“Kasus yang diangkat dalam film ini bukan hanya soal perusakan hutan, tapi juga bentuk pengabaian hak masyarakat adat dan kerusakan ekosistem penting. 17 Surat Cinta menjadi pengingat bagi kita semua bahwa janji perlindungan hutan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar slogan,” kata Mufti Barri dari Forest Watch Indonesia.
Dalam dua tahun terakhir, deforestasi Indonesia kembali meningkat, termasuk di wilayah konservasi yang pada tahun 2023 sendiri mencapai 12.612 hektar. Peningkatan laju deforestasi ini sebagian besar disebabkan oleh izin konversi yang terus diterbitkan sebagaimana dimaksud pada Hutan Tanaman Industri di Kalimantan, dan proyek strategis nasional, seperti proyek perkebunan pangan dan energi seluas 2 juta hektar di Papua Selatan.
“Film ini mengungkap bagaimana perusakan hutan terjadi secara sistematis, bahkan di kawasan yang secara hukum seharusnya dilindungi. Ini adalah seruan untuk pemerintah Indonesia agar benar-benar menghentikan deforestasi dan melindungi kawasan konservasi,” ujar Arie Rompas, Ketua Tim Juru Kampanye Hutan dari Greenpeace.
Ia juga menekankan bagaimana film 17 Surat Cinta ini ditujukan untuk menuntut keseriusan pihak-pihak untuk menghentikan deforestasi di Indonesia, khususnya di kawasan konservasi.
Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara, mengungkapkan penyesalannya terhadap deforestasi yang terus terjadi di kawasan konservasi mengingat kawasan konservasi tidak hanya memiliki unit pengelola spesifik seperti Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, kawasan konservasi juga diproteksi oleh undang-undang spesifik dengan rangkaian peraturan pelaksananya .
“Bila di kawasan konservasi saja deforestasi leluasa terjadi, nasib hutan alam dan keanekaragaman hayati di kawasan hutan lainnya tentu menjadi pertanyaan besar. Padahal, 72,6 juta hektare (81%) hutan alam Indonesia berada di luar kawasan konservasi,” pungkas Timer Manurung. (ra)