RAKYAT ACEH | BANDA ACEH – Rencana Kementerian Dalam Negeri untuk membubarkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, sebagaimana tercantum dalam dokumen hasil fasilitasi Rancangan Qanun Aceh tentang KKR, mendapatkan penolakan tegas dari berbagai pihak, terutama perwakilan masyarakat dan korban pelanggaran HAM di Aceh.
Manager Program LSM Katahati Institute, Muhammad Fahry melalui rilis yang diterima Rakyat Aceh, Sabtu 16 November 2024 mengungkapkan bahwa, KKR Aceh bukan hanya sekadar institusi, melainkan inti dari proses rekonsiliasi dan perdamaian di wilayah tersebut yang lahir dari perjanjian damai Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006.
Disebutkan, peninjauan yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri mengacu pada dasar hukum nasional yang sudah dicabut terkait Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional tidak tepat sasaran.
“Karena konstruksi hukum pembentukan KKR Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 merupakan amanah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Jadi sangat disayangkan saat Kementerian Dalam Negeri melalui Ditjen Otda tidak paham tentang produk hukum setingkat Undang-undang yang ada di Republik ini”,katanya.
Selain itu, Fahry juga meminta dan mengharapkan kepada pemerintah daerah dan para pejabat di parlemen turut mendukung keberlanjutan KKR Aceh ini, dan tidak terpengaruh oleh wacana pembubaran tersebut yang diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri.
“KKR memiliki tugas tidak hanya untuk mengungkap kebenaran, tetapi juga untuk memastikan kesejahteraan korban, terutama mereka yang lanjut usia dan anak-anak korban, dengan memastikan akses terhadap pendidikan dan kesehatan,”sebutnya.
Menurutnya, KKR juga bertugas untuk memastikan akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Apalagi, banyak korban yang masih membutuhkan dukungan, terutama mereka yang masih rentan kesejahteraan.
Sebab sambungnya, sejauh ini, upaya pemulihan bagi korban konflik di Aceh dinilai masih belum menyeluruh. Dalam beberapa kasus, seperti kasus Simpang KKA, hanya sebagian kecil dari korban yang menerima pemulihan. Perwakilan korban menegaskan bahwa seluruh korban berhak mendapatkan pemulihan, bukan hanya sepuluh orang seperti yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM.
“Karena itu, kita menyerukan bagi seluruh pihak untuk mendukung keberlangsungan KKR Aceh dan memperkuat perannya dalam menjaga perdamaian, keadilan, dan pemulihan bagi seluruh korban pelanggaran HAM di Aceh,” kata Fahry.
Masih menurutnya, tugas menangani isu HAM adalah ranah dari Kementerian Hukum
dan HAM, bukan Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana disampaikan oleh para aktivis HAM.
“Disini terlihat tidak adanya fungsi koordinasi kelembagaan setingkat menteri dalam perumusan
kebijakan jika tidak ingin disebut tidak paham konteks kebangsaan sebagaimana dicanangkan
Presiden terpilih, Prabowo Subianto yang menyebutkan bahwa kolaborasi sebagai jalan perdamaian,” tutur Fahry
Oleh sebab itu, para korban dan masyarakat Aceh mendesak agar rancangan pencabutan KKR Aceh segera dibatalkan, dan justru didorong untuk diperkuat. KKR Aceh sebagai bentuk perlindungan hak-hak korban dan elemen penting bagi perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.
“Ini merupakan kerangka menuju
rekonsiliasi melalui reparasi, baik reparasi mendesak maupun menyeluruh yang menjadi tupoksi KKRA dalam memberikan rekomendasi untuk ditindaklanjuti setelah proses pengungkapan
kebenaran,”ucapnya.
Hal yang senada juga diungkapkan korban sekaligus pegiat HAM, Nyak Murtala menegaskan bahwa keberadaan KKR Aceh yang independen adalah bentuk penghormatan terhadap keistimewaan Aceh, sekaligus upaya untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan bagi korban.
Menurutnya, KKR adalah “jantung” dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh. Jika terjadi pembubaran lembaga ini, maka tidak hanya akan memupus harapan para korban, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat pada proses penegakan HAM dan perdamaian yang telah dibangun sejak perjanjian Helsinki.
“KKR adalah roh perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan. Jika ini dicabut, maka akan menimbulkan masalah besar ke depannya,”kata Murtala.
Sebagaimana diinformasikan sebelumnya, Kemendagri meminta Pemerintah Aceh mencabut Qanun (peraturan daerah) Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR lewat surat Ditjen Otda Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA yang ditandatangani Plh Sekretaris Ditjen Otda Suryawan Hidayat.
Surat Ditjen Otda Kemendagri tersebut telah menimbulkan berbagai pendapat di kalangan masyarakat Aceh, dan menyatakan penolakan terhadap permintaan pencabutan lembaga KKR Aceh. (mat).