RAKYATACEH | BIREUEN – Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh asal Kabupaten Bireuen, Jamalul, berpendapat bahwa poltik uang dapat melahirkan penguasa yang korupsi, bukan pemimpin yang diharapkan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan mahasiswa yang aktif di organisasi itu kepada Rakyat Aceh, Jumat (22/11).
“Kita menyadari praktik politik uang telah menjadi penyakit kronis yang menghujam masyarakat. Praktik ini benar-benar telah menjadi musuh nyata bagi kualitas demokrasi kita. Bagaimana tidak, praktik tersebut terang-terangan merusak esensi dari pada Pilkada itu sendiri,” ujar Jamalul.
Disebutkan, demokrasi saat ini jelas terancam. Politik uang adalah strategi politik licik ketika calon pemimpin menggunakan kekayaan atau sumber daya finansialnya untuk membeli suara, atau mempengaruhi keputusan politik demi meraih kekuasaan.
“Sungguh miris kita menyaksikan praktik politik uang malah dianggap hal yang wajar, bahkan dilakukan pembenaran sepihak oleh para calon pemimpin yang berkompetisi. Sangat jarang kita melihat calon-calon itu murni hanya meributkan gagasan, bertempur lewat ide-ide agar nantinya benar-benar dapat melahirkan kebijaksanaan dalam suatu kebijakan. Malahan, berlomba-lomba menyogok pemilih untuk merebut kursi kekuasaan,” terang Jamalul.
Menurutnya, jika calon pemimpin sudah duluan mengedepankan politik uang, maka disaat memimpin nantinya, cenderung akan melakukan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Betapa tidak, mereka akan berupaya dengan segala cara untuk mengembalikan modal yang sudah dihabiskan saat melakukan money politik.
“Inilah realitanya, kita ini terbiasa membenarkan suatu kesalahan atas kesalahan, lalu menjadikannya sesuatu yang wajar. Pilkada serentak yang akan dilaksanakan 27 November nanti, seharusnya menjadi momentum bagi rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan visi, misi, dan kemampuan mereka,” sebut Jamalul.
Tetapi, kata mahasiswa itu, ketika politik uang mulai merajalela dan menjalar ke desa-desa, amplop bersebaran, ada juga yang dikamuflasekan dengan istilah sumbangan serta hadiah dan masih banyak lagi strategi licik yang setiap 5 tahun sekali dipertontonkan, maka ketika hal tersebut terjadi, proses pemilihan tidak lagi didasarkan pada pertimbangan rasional tentang siapa yang paling kompeten atau memiliki kepedulian terhadap rakyat.
Sebaliknya, ia akan beralih menjadi transaksi materi, siapa yang mampu memberikan lebih banyak uang, dia yang akan menang. Ini adalah kenyataan pahit yang semakin memperburuk kualitas demokrasi kita hari ini.
Untuk mengatasi masalah ini, menurutnya, masyarakat perlu kembali menginstal ulang mentalitas, dengan berani untuk tidak ikut arus, berani pula untuk mengatakan tidak atas kesalahan, bukan membenarkan apa yang salah.
“Kita juga ingin pemerintah, dan lembaga yang mempunyai wewenang dalam menjaga integritas Pilkada 2024, benar-benar menyiapkan tekad dan komitmen untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai yang telah ditentukan. Jangan main-main, harus tegas, jangan melakukan kong-kalikong dengan para calon licik. Sudah saatnya kita berhenti merawat kesalahan dan memelihara kecurangan,” terang Jamalul.
Tentunya memberantas politik uang menjadi tugas berat, karena praktiknya telah mengakar begitu kuat. Tapi itu bukan suatu kemustahilan, layaknya kata Cicero filsuf asal Romawi yang melagenda “selama manusia masih bernafas, selama harapan masih ada, maka kata mustahil adalah tiada”.
“Jangan terlalu pesimistis dengan keadaan, karena kita perlu harapan yang optimis untuk melakukan perbaikan,” tegas mahasiswa Bireuen itu. (akh)