PADA setiap bulan Desember, kita memperingati peristiwa tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, dua puluh tahun lalu yang populer disebut “Tsunami Aceh”.
Peringatan tersebut lazimnya dengan melaksanakan zikir, wirid yasin dan tausyiah baik yang diprakarsai oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam konteks budaya adakalanya para seniman juga melaksanakan pagelaran seni, teater dan sebagainya yang terkait dan berkenaan dengan peristiwa tsunami yang memilukan itu.
Belum ada kosakata asli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang tsunami, kecuali dijelaskan sebagai; “gelombang laut dahsyat atau gelombang pasang yang terjadi karena gempa bumi atau letusan gunung api di dasar laut.” Maka tidak heran jika diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia digunakan kosakata tsunami yang dalam bahasa Jepang diartikan gelombang dipelabuhan atau gelombang yang melanda pelabuhan.
Tetapi di Pulau Simeulue yang telah beberapa kali dilanda tsunami, ternyata ada kosakata dalam bahasa Simeulue, yaitu “Smong”. Smong dalam kosakata Simeulue, adalah gelombang besar yang muncul setelah terjadinya gempa yang kuat dengan didahului tanda-tanda alam yaitu air laut yang surut seketika.
Sementara Smong dari sisi sejarah adalah sebuah “tragedi” pilu yang pernah melanda Pulau Simeulue, sedangkan dari aspek budaya “Smong” dapat pula diartikan sebagai sebuah kearifan berbasis tradisi.
Apa dan bagaimana “Smong”, dari sebuah bencana menjadi sebuah kearifan yang menyelamatkan dan mendapat pengakuan dunia internasional, berikut tulisan kami untuk para pembaca budiman.
Pada tahun 1883, konon Pulau Simeulue pernah dilanda tragedi Smong (tsunami) bersamaan dengan peristiwa Smong (tsunami) melanda Asia Tenggara tepatnya mulai dari Selatan Pulau Jawa hingga belahan Barat Pulau Sumatera.
Peristiwa tersebut dipicu oleh meletusnya gunung Krakatau di Selat Sunda yang terjadi pada hari Minggu tanggal 27 Agustus 1883. Tidak ada catatan resmi berapa korban di Pulau Simeulue akibat Smong (tsunami) tersebut.
Berselang 24 tahun kemudian, tepatnya pada hari Jum’at pukul 12.20 WIB tanggal 4 Januari 1907 terjadi peristiwa dahsyat yang sama, yaitu Smong (tsunami) yang diawali dengan terjadinya gempa bumi berkekuatan diperkirakan sekitar 7,5 – 8,0 Ms, kemudian disusul dengan surutnya air laut dan berikutnya secara tiba-tiba muncul gelombang raksasa yang menuju daratan dan melanda serta menenggelamkan perkampungan penduduk, sehingga menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian materil lainnya.
Korban Smong (tsunami) pada tahun 1907 tersebut di Pulau Simeulue tercatat 1.818 orang, terdiri dari; wilayah Tapah (Teupah) 1.205 orang, wilayah Simölöl 431 orang, wilayah Salang 130 orang dan Leukon 52 orang. (Linlin Li dkk. 2019).
Banyaknya korban jiwa pada peristiwa tersebut bisa jadi setelah terjadinya gempa yang disusul dengan surutnya air laut banyak ikan terdampar dipantai, sehingga penduduk berlarian menuju pantai untuk memungut ikan-ikan tersebut. Sementara tanpa disadari mereka yang sedang asik memungut ikan-ikan, dari kejauhan muncul gelombang raksasa dengan menimbulkan suara menderu dan mendengung serta suara gemericik seperti dedaunan kering yang terbakar menuju daratan.
Seketika gelombang tersebut tiba dan memecah dipantai, menenggelamkan perkampungan, termasuk penduduk yang sedang memungut ikan dipantai. Pasca tragedi tsunami 1907 tersebut, kalimat atau kosakata “Smong” mulai dikenal dan populer dikalangan penduduk yang selamat. Masyarakat mengetahui bahwa “Smong” adalah gelombang besar yang muncul setelah terjadi gempa yang kuat dan diawali dengan surutnya air laut seketika.
Penduduk yang selamat menceritakan pengalamannya tentang fenomena-fenomena alam yang terjadi dan tragedi yang dialami mereka yang selamat dari peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut akhirnya menjadi sebentuk memori kolektif yang akhirnya mereka jadikan bahan cerita /hikayat untuk disampaikan kepada anak2 mereka yang berisikan petuah dan pesan terutama ketika menjelang tidur.
Proses bercerita dalam menyampaikan petuah dan pesan tersebut dalam kosakata Simeulue disebut “nafi-nafi”. Selain menyampaikan cerita juga terkandung didalamnya sebentuk pesan atau wasiat, yaitu sebagai berikut;
1.Jika terjadi gempa yang kuat.
2.Air laut surut seketika.
3.Hewan dipantai gelisah dan lari ke perbukitan.
4.Jangan memungut ikan ke pantai.
5.Segera lari ke tempat yang tinggi sambil berteriak smong…smong…smong.
6.Karena sebentar lagi akan tiba smong (tsunami).
Itulah pesan dan wasiat leluhur yang selamat pada peristiwa Smong (tsunami) 1907 kepada anak cucu mereka.
Berselang 97 tahun setelah itu, tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi lagi tragedi yang sama, Smong (tsunami) melanda Aceh dan beberapa negara tetangga.
Peristiwa Smong yang populer disebut dengan “tsunami Aceh” ini tergolong bencana alam terdahsyat di era modern ini, dengan korban jiwa mencapai 250.000 – 280.000 jiwa.
Pasca terjadinya peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 pada pukul 07.58′.53″ WIB, muncul berita yang simpang siur tentang nasib Pulau Simeulue yang diberitakan hilang atau tenggelam.
Betapa tidak, karena gempa yang berkekuatan 9,3 Skala Richter itu epicentrumnya relatif berada tidak jauh dari kepulauan tersebut, pada koordinat: 2,9°LU – 96,6°BT, 150 KM Barat Laut Aceh. Oleh karena itu tidak heran kalau orang berasumsi bahwa kepulauan Simeulue berdampak besar dengan peristiwa tersebut.
Diluar dugaan, terdapat fenomena ajaib di kepulauan Simeulue, ternyata korban langsung akibat gempa bumi dan tsunami tersebut hanya 3 orang dan yang meninggal dunia dipengungsian berjumlah 4 orang, karena sakit dan usia lanjut, Sungguh Allah Swt Maha Kuasa.
Selain kerugian harta benda dan kerusakan prasarana dan sarana infrastruktur, tercatat 1700 rumah hancur tersapu tsunami apalagi hampir 100% pemukiman penduduk berada di daerah pantai.
Jika dari 1700 rumah tersebut rata-rata penghuninya 5 jiwa, maka jumlah total penduduk yang rumahnya diterjang tsunami ada sekitar 8.500 jiwa atau lebih kuran 10% dari total jumlah penduduk waktu itu. Berarti pada saat itu terjadi proses evakuasi besar-besaran dalam kurun waktu kurang dari 10 menit secara serempak diseluruh wilayah pantai Pulau Simeulue.
Peristiwa mobilisasi massa untuk evakuasi ketika itu dapat dianggap sebagai peristiwa yang luar biasa. Dalam kajian ilmu sosial dan ilmu komunikasi, kejadian seperti itu hanya dapat dilakukan oleh sebuah pemahaman bersama yang kuat dengan persepsi yang sama yang disebut kearifan lokal (dalam hal ini disebut budaya Smong), sehingga dalam saat yang genting dan hanya dengan satu kata sandi (smong…smong…smong), maka terjadilah gerakan massa yang sangat masif dengan kecepatan tinggi secara bersama-sama, walaupun berada diwilayah dan tempat yang terpisah-pisah.
Ternyata penduduk Simeulue telah mempunyai sistem peringatan dini (early warning system) yang dikenal sebagai budaya “Smong”.
Budaya ini telah menjadi memori kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk pesan atau nasehat yang disampaikan melalui seni tutur “nafi-nafi”, berisikan pengalaman2 yang diperoleh dari tragedi gempa dan Smong (tsunami) tahun 1907 lalu.
Pesan sederhana tersebut akhirnya mengkonstruk sebuah “kearifan” sebagai bentuk kecerdasan sosiokultural yang concerned akan kepedulian dan upaya penyelamatan diri.
Seperti penjelasan terdahulu, pesan tersebut adalah; “Jika terjadi gempa yang kuat, disusul dengan air laut yang surut seketika, hewan dipantai gelisah dan berlari menuju bukit, jangan memilih ikan ke pantai. Segeralah cari tempat, dataran tinggi atau bukit agar selamat”, sembari berteriak; “smong … smong … smong”.
Teriakan tersebut merupakan magic word dan kata sandi sebagai aba-aba tanpa komando untuk menyelamatkan diri ketika terjadi tanda-tanda alam tersebut.
Naluri yang mendorong penduduk ber- evakuasi ke bukit-bukit pada peristiwa “Smong” tahun 2004 yang lalu, adalah karena adanya pewarisan nilai-nilai kearifan kewaspadaan kolektif dalam menghadapi bencana tersebut dari leluhur mereka, sehingga mampu melakukan penyelamatan diri secara serentak pada kesempatan pertama.
Petuah-petuah leluhur diinternalisasi sedemikian rupa sehingga mampu membangun kearifan lokal yang turun temurun sebagai suatu sistim peringatan dini dan pengurangan resiko bencana berbasis tradisi yang tidak kalah efektif dibandingkan dengan early warning system modern.
Kearifan lokal berbasis tradisi yang juga disebut sebagai budaya “Smong” tersebut menjadi perhatian masyarakat dunia, dalam hal ini melalui UN- ISDR (International Strategy for Disaster Reduction) sebuah lembaga dibawah PBB yang memberikan perhatian kepada upaya-upaya masyarakat dalam mengurangi kerusakan dan kerugian akibat bencana, sehingga memberi penghargaan kepada masyarakat Simeulue berupa “SASAKAWA AWARD” pada tahun 2005 yang diterima oleh Bupati Simeulue Drs. Darmili di Bangkok pada tanggal 12 Oktober 2005.
Dipihak lain, Pemerintah Republik Indonesia juga telah menetapkan pula kearifan lokal masyarakat Simeulue tersebut sebagai “Warisan Budaya Tak Benda” pada tahun 2022 yang lalu. Dengan ditetapkannya sebagai warisan budaya, maka ada sebentuk titipan yang mengiringinya, yaitu upayaupaya apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan kearifan lokal “budaya Smong” tersebut sebagai warisan kepada generasi selanjutnya.
Budaya dan kearifan lokal “Smong” yang sudah dikenal oleh dunia internasional melalui lembaga UNISDR, dan juga telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Tehnologi sebagai warisan budaya tak benda dari Propinsi Aceh pada tgl 21 Oktober 2022 perlu dibarengi dengan upaya-upaya pelestariannya. Pemerintah telah harus memikirkan upaya pelestrian tersebut minimal melalui instruksi Bupati/Walikota agar kearifan ini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah, terutama di wilayah-wilayah yang rawan gempa dan Smong (tsunami).
Demikian pula dengan kosakata “Smong” perlu upaya-upaya agar dapat diterima secara luas dan ditambahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sinabang, 14 Desember 2024.
Penulis : Moris Mesasilai
Pemerhati Budaya Simeulue