Sejak tahun 1970, Keluarga Al-Assad telah memegang kendali atas Suriah, menerapkan pemerintahan yang represif dan otoriter. Awalnya, negara ini dipimpin oleh Hafez Al-Assad, yang kemudian digantikan oleh putranya, Bashar, setelah kematiannya pada tahun 2000. Kepemimpinan Bashar Al-Assad tidak jauh berbeda dari sang ayah, bahkan semakin diperburuk oleh tingginya tingkat korupsi, yang akhirnya memicu tragedi besar pada tahun 2011.
Tahun tersebut ditandai dengan gelombang Arab Spring, sebuah gerakan protes besar-besaran yang melanda negara-negara di Timur Tengah. Rakyat di berbagai negara bangkit melawan pemerintahan otoriter, korupsi, serta kesulitan ekonomi. Revolusi ini membawa perubahan politik yang signifikan di berbagai negara.
Di Tunisia, Presiden Ben Ali mundur setelah lebih dari dua dekade berkuasa. Mesir juga mengalami nasib yang sama ketika Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri setelah 30 tahun berkuasa. Sementara itu, Libya berhasil menggulingkan Muammar Gaddafi dan yang berujung pada Perang Saudara. Yaman pun tak luput dari gejolak, dengan Presiden Saleh yang dipaksa mundur dan konflik berkepanjangan yang masih berlangsung hingga kini.
Suriah menghadapi situasi yang lebih kompleks dibandingkan negara-negara seperti Libya dan Yaman. Ketegangan semakin meningkat pada 2014 ketika kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) melancarkan serangan terhadap berbagai pihak yang sudah lebih dulu berperang di Suriah. Keberadaan ISIS, yang juga bertanggung jawab atas berbagai aksi teror di Prancis, Inggris, Belgia, dan Jerman, mendorong keterlibatan Amerika Serikat dan sekutunya masuk dalam konflik ini.
Rusia turut ambil bagian dalam perang Suriah, namun mereka berpihak pada pemerintah Assad, bersama dengan Iran. Pada 2019, ISIS akhirnya berhasil dikalahkan, sementara pasukan oposisi anti-Assad dipukul mundur ke perbatasan Turki. Untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade, pemerintahan Assad mendapatkan stabilitas berkat dukungan Rusia dan Iran.
Namun, pada November 2024, konflik kembali memasuki babak baru. Dilansir dari apnews.com, pasukan oposisi berhasil merebut Kota Aleppo pada 1 Desember 2024. Kejatuhan Aleppo menjadi awal dari berakhirnya rezim Assad karena berhasil menjadi batu loncatan dalam merebut kota-kota besar di Suriah lainnya, seperti Hama dan Homs, yang telah sepenuhnya dikuasai pada 7 Desember 2024.
Penaklukan Homs menjadi pukulan telak bagi rezim Assad karena ibu kota Damaskus pun akhirnya terkepung. Pada 8 Desember 2024, pasukan oposisi yang dipimpin oleh HTS berhasil menguasai Damaskus, sementara Bashar Al-Assad dilaporkan melarikan diri ke Rusia. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan keluarga Assad setelah 54 tahun memerintah Suriah.
Kemenangan oposisi disambut dengan suka cita oleh masyarakat, yang segera membebaskan tahanan politik serta membentuk pemerintahan baru. Dilansir dari aljazeera.com, Ahmed Al-Sharaa dari HTS ditunjuk sebagai Presiden Sementara Suriah. Namun, meski pemerintahan baru terbentuk, sisa-sisa pasukan pro-Assad masih terus memberikan perlawanan.
Konflik bersenjata pun segara berkecamuk kembali. Dilansir dari scmp.com, pada Kamis, 6 Maret 2025m terjadi pertempuran antara pasukan keamanan pemerintah dan pasukan pro Assad. Pertempuran ini berujung pada pembunuhan massal yang menewaskan 1.300 orang.
Sebagai respons, pemerintah Suriah melancarkan operasi militer di Provinsi Tartus pada Minggu berikutnya, dengan bentrokan yang berlanjut di Desa Tanita. Di Kota Latakia, pasukan pemerintah terlihat memasuki kawasan permukiman dan menggeledah rumah-rumah.
Dilansir dari edition.cnn.com, pasukan pro Assad menyerang pos-pos pemeriksaan dan patroli pemerintah, menewaskan dan melukai banyak orang. Pemerintah segera merespons serangan ini dengan tindakan tegas, termasuk eksekusi terhadap milisi pro-Assad serta warga Alawi yang dikenal dekat dengan rezim sebelumnya.
Situasi ini mengundang reaksi dari dunia internasional. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan berbagai negara lainnya mengecam kekerasan yang terjadi serta mendesak agar pemerintahan baru Suriah melindungi rakyatnya.
Saat ini, Suriah berpotensi kembali terjebak dalam konflik berkepanjangan. Akankah perang terus berlanjut, ataukah akhirnya perdamaian dapat tercapai setelah 14 tahun pergolakan yang membawa penderitaan bagi semua pihak? Kita akan terus memantau perkembangan di bulan-bulan mendatang. (*)