JANTHO (RA) – Lahan sawah di Kabupaten Aceh Besar terus menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, luas lahan sawah di kabupaten ini pada tahun 2023 tercatat hanya 28.312 hektare. Angka tersebut menurun 2,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 29.050 hektare. Namun saat ini, berdasarkan data Dinas Pertanian Aceh Besar, luas total lahan sawah di Aceh Besar 25.692 hektare.
Penurunan ini dinilai cukup mengkhawatirkan karena terjadi di wilayah yang selama ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil beras terbesar di Aceh. Penyebab utama menyusutnya lahan sawah adalah alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman dan pembangunan infrastruktur.
Menanggapi hal ini, Anggota DPRK Aceh Besar, Zulfikar Aziz SE, menyuarakan keprihatinan mendalam. Menurutnya, laju alih fungsi lahan yang tidak terkendali bisa berdampak buruk terhadap masa depan pertanian dan ketahanan pangan lokal.
“Jika tren ini terus dibiarkan, Aceh Besar berpotensi kehilangan jati dirinya sebagai lumbung padi Provinsi Aceh. Ini sangat berbahaya bagi masa depan sektor pertanian dan kedaulatan pangan kita,” ujar Zulfikar saat ditemui di Jantho, Jumat (25/4/2025).
Ia menilai, perlu ada langkah konkret dan strategis dari pemerintah daerah untuk menghentikan laju alih fungsi lahan yang semakin masif, terutama di wilayah-wilayah yang dulunya menjadi pusat produksi padi.
Menurut Zulfikar, pembangunan infrastruktur memang penting, begitu juga pemenuhan kebutuhan hunian masyarakat. Namun demikian, harus ada batas yang jelas agar pembangunan tersebut tidak mengorbankan lahan-lahan pertanian produktif.
“Pembangunan boleh dilakukan, tapi jangan sampai mengorbankan lahan sawah yang selama ini menjadi tumpuan hidup ribuan petani. Kita harus seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya anggota DPRK dari dapil enam yang meliputi Baitussalam, Darussalam, dan Mesjid Raya
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa Aceh Besar memiliki potensi besar dalam sektor pertanian, terutama produksi padi. Oleh karena itu, segala kebijakan yang diambil harus berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang, bukan sekadar kepentingan sesaat.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang daerah. Menurutnya, selama ini banyak alih fungsi lahan yang terjadi tanpa pengendalian ketat, bahkan kadang-kadang tanpa izin resmi.
“Kita harus jujur mengakui, pengawasan kita masih lemah. Kadang sawah yang termasuk zona hijau bisa berubah jadi perumahan tanpa ada tindakan. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.
Zulfikar juga menyoroti dampak langsung dari penyusutan lahan sawah terhadap kehidupan petani. Menurutnya, banyak petani yang mulai kesulitan mendapatkan lahan tanam karena lahannya sudah dijual atau beralih fungsi. Akibatnya, produksi padi menurun, dan ketergantungan pada pasokan dari luar meningkat.
“Petani kita semakin terdesak. Mereka terpaksa mengurangi musim tanam, bahkan ada yang beralih profesi karena lahannya sudah tidak bisa ditanami lagi. Ini situasi yang memprihatinkan,” jelasnya.
Ia mengajak semua pihak, baik pemerintah gampong, tokoh masyarakat, hingga kaum muda, untuk turut serta menjaga sisa lahan sawah yang masih tersisa. “Jangan sampai kita menyesal nanti ketika semua sudah terlambat,” ujarnya.
Dalam pandangannya, salah satu langkah paling mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten adalah mengevaluasi kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Besar. Menurut Zulfikar, RTRW yang ada saat ini belum cukup kuat dalam melindungi zona-zona pertanian dari tekanan pembangunan.
“Kita harus punya komitmen yang kuat untuk menetapkan zona pertanian yang tidak bisa dialihfungsikan, kecuali untuk kepentingan publik yang sangat mendesak dan tidak bisa dihindari,” jelasnya.
Ia juga menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Aceh Besar menggandeng akademisi, organisasi petani, dan lembaga swadaya masyarakat untuk ikut merancang kebijakan tata ruang yang berkelanjutan dan partisipatif.
“Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja. Harus melibatkan banyak pihak agar kebijakan yang lahir benar-benar bisa diterima dan dijalankan bersama,” kata Zulfikar.
Lebih jauh, Zulfikar mengingatkan bahwa penyusutan lahan pertanian bukan hanya persoalan lokal, melainkan menyangkut isu ketahanan pangan nasional. Jika daerah-daerah penghasil padi seperti Aceh Besar mulai kehilangan kemampuan produksinya, maka ketergantungan pada pasokan dari luar akan meningkat.
“Kalau kita tidak bisa memenuhi kebutuhan beras kita sendiri, kita akan semakin bergantung pada luar. Ini bisa sangat riskan jika terjadi gangguan distribusi atau krisis global,” ujarnya politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Untuk itu, ia berharap perhatian lebih dari Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat terhadap persoalan penyusutan lahan pertanian di daerah, termasuk melalui alokasi anggaran yang mendukung upaya perlindungan dan revitalisasi lahan sawah.
Sebagai putra daerah yang tumbuh di lingkungan petani, Zulfikar Aziz mengaku memiliki ikatan emosional yang kuat dengan sektor pertanian. Ia menyebut, menjaga lahan sawah bukan hanya soal angka produksi, tetapi juga soal menjaga warisan budaya dan identitas masyarakat Aceh Besar. “Sawah bukan hanya sumber pangan. Ia juga bagian dari budaya dan kehidupan kita. Kalau kita kehilangan sawah, kita kehilangan sebagian dari jati diri kita sebagai orang Aceh Besar,” pungkasnya. (ra/drh)