RAKYAT ACEH| SIMEULUE – Selama 5 tahun terakhir, sejak tahun 2020 hingga tahun 2024, ada 9 kasus Destructive Fishing (DF) atau kegiatan penangkapan ikan dengan cara yang merusak di wilayah perairan laut Provinsi Aceh.
9 kasus Destructive Fishing (DF) di wilayah perairan laut Provinsi Aceh itu, oleh Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Lampulo dan DKP Aceh, serta Kejaksaan Negeri Simeulue, acara sosialisasi pemamfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan di sekitar kawasan konservasi, Rabu 30 April 2025.
Kegiatan sosialisasi pemamfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan di sekitar kawasan konservasi yang di gelar di Kecamatan Teupah Selatan, dengan melibatkan panglima laot, kepala mukim, aparat desa, nelayan dan isteri nelayan serta warga yang berdomisili di pesisir pantai.
“Sejak tahun 2020 hingga tahun 2024, ada 9 kasus Destructive Fishing (DF) atau kegiatan penangkapan ikan dengan cara yang merusak, dengan pelaku sebanyak 24 orang,” kata Yustom, Pengawas Kelautan Pangkalan PSDKP Lampulo, selaku narasumber dalam kegiatan tersebut.
Masih menurut Yustom, yang merincikan dari 9 kasus dan 24 pelaku tersebut, tahun 2020 sebanyak 3 kasus dan 14 pelaku, yang terbukti menggunakan alat bantu kompressor dan berlokasi di Kabupaten Simeulue. Tahun 2021 sebanyak 2 kasus dan 4 pelaku yang terbukti menggunakan alat bantu kompressor dengan lokasi Aceh Besar dan Aceh Selatan.
Kemudian tahun 2022, sebanyak 1 kasus dan 2 pelaku, yang terbukti menggunakan alat bantu kompressor, dengan lokasi Aceh Besar. Tahun 2023 sebanyak 2 kasus dan 2 pelaku, yang terbukti menggunakan alat peledak atau bom ikan, dengan lokasi Simeulue dan Aceh Besar. Dan terakhir tahun 2024, sebanyak satu kasus, tidak ada pelaku, menggunakan alat bantu kompressor, dengan lokasi Aceh Besar.
Dalam kesempatan itu juga Yustom menyebutkan, pasal 9 UU 45 tahun2009. Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa dan atau menggunakan alat penangkapan ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
“Penjelasan (angka 4, Pasal 9), alat bantu penangkapan ikan yang merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk Kompresor. Pasal 85 dengan sanksi Penjara 5 tahun denda Rp. 2 Milyar. Serta Pasal 10 PermenKP 36/2023, Penangkapan ikan dilarang menggunakan Bahan Kimia, Bahan Biologis, Bahan Peledak, Racun, Listrik, alat dan atau cara yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkunyannya” tegas Yustom.
Sedangkan narasumber Samsul Bahri, dari Subkor Pengawasan Sumber Daya Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Aceh, memaparkan pemamfaatan betkelanjutan, prinsip berkelanjutan, mamfaat dan pemamfaatan perikanan berkelanjutan, alat tangkap ramah lingkungan.
Kemudian keuntungan penangkapn ikan yang ramah lingkungan. Praktik yang perlu dihindari. Pemanfaatan dikawasan konservasi. Kawasan konservasi yakni zona inti, zona pemamfaatan terbatas dan zona lainnya. Ketentuan pemamfaatan di zona kawasan konservasi. Peran masyarakat dalam penanggulangan Destructive Fishing dan terakhir ancaman Destructive Fishing .
“Peran masyarakat dalam penanggulangan Destructive Fishing ini. Dengan aktif keterlibatan dari pokmaswas. Panglima laot Aceh dan komunitas nelayan”, kata Samsul Bahri.
Sedangkan narasumber, Fikri Abrar Pratama, Kepala Seksi Intelijen Kejari Simeulue, juga memeparkan alur penanganan tindak pidana perikanan. Tugas dan wewenang kejaksaan. Alur penanganan perkara. Penahanan, jenis-jenis tindak pidana perikanan, penggolongan tindak pidana perikanan. Serta rincian sebanyak total 9 perkara tindak pidana perikanan yang telah di tangani Kejaksaan Negeri Simeulue, sejak tahun 2020 hingga tahun 2024. (Ahi).