class="wp-singular post-template-default single single-post postid-139238 single-format-standard wp-custom-logo wp-theme-kobaran" >

Menu

Mode Gelap
BNN Kota Banda Aceh Gelar Program Intervensi Berbasis Masyarakat (IBM) di Gampong Peulanggahan Afwan dan Iqbal Calon Keuchik Tanjong Bungong, Pemilihan Dijadwalkan 28 Mei Real Madrid Menang Atas Sevilla dengan Skor 2-0, Kylian Mbappe Jadi Sorotan Siloam Oncology Summit 2025 Ungkap Kedokteran Nuklir Berpotensi Jadi Harapan Baru dalam Terapi Kanker Wali Kota Lhokseumawe Ganti Sekda dan Kadis PUPR

OPINI · 6 May 2025 20:10 WIB ·

Punahnya Bahasa Aceh, Salah Siapa?


 Punahnya Bahasa Aceh, Salah Siapa? Perbesar

Oleh, Ichsan MSn – Dosen ISBI Aceh

Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang menggulung budaya lokal ke tepian, kita dihadapkan pada satu kenyataan pahit, Bahasa Aceh kini berada di ambang kepunahan. Pertanyaannya, punahnya bahasa Aceh, salah siapa?

Sebagian besar dari kita terbiasa menyalahkan waktu, menyalahkan teknologi, atau menyalahkan generasi muda yang disebut enggan berbahasa ibu. Padahal, jika kita mau jujur, sesungguhnya bukan generasi muda yang sepenuhnya bersalah, melainkan kita semua, para orang tua, para pemangku kepentingan, para tokoh adat, para akademisi, dan bahkan para pejabat yang selalu lantang bersuara di forum-forum budaya namun enggan melangkah satu inci pun untuk menegakkan apa yang mereka khawatirkan.

Fenomena ini bukan semata tentang bahasa. Ia adalah refleksi dari cara kita memperlakukan warisan leluhur, dengan pidato, bukan tindakan dengan seminar, dan bukan gerakan.

Sudah menjadi pemandangan umum dalam berbagai forum kebudayaan, seminar nasional, atau panggung diskusi daerah, para pejabat dan tokoh publik menyuarakan keprihatinan atas nasib bahasa Aceh. Mereka menyebut angka-angka yang menakutkan, mengutip UNESCO, dan menyuarakan urgensi pelestarian. Tetapi, pertanyaan mendasarnya, setelah semua retorika itu, apa langkah konkrit yang mereka ambil?

ISBI Aceh saat ini adalah satu-satunya perguruan tinggi negeri yang menyediakan Program Studi Bahasa Aceh dengan pendekatan ilmu murni bukan sekadar pedagogik. Ini adalah benteng akademik terakhir yang berdiri tegak dalam upaya merawat, mengkaji, dan mengembangkan bahasa Aceh secara ilmiah dan sistematis. Ironisnya, keberadaan prodi ini masih jauh dari dukungan maksimal. Bahkan, para tokoh yang paling lantang bersuara soal pelestarian bahasa, justru tidak mendorong anak-anak mereka atau keluarga terdekat untuk menempuh studi di sini.

Lebih ironis lagi, hanya satu Perguruan Tinggi Swasta lainnya yang memiliki program studi sejenis, namun bersifat ilmu kependidikan. Artinya, pilihan untuk belajar bahasa Aceh dengan pendekatan yang mendalam dan akademis hanya satu, ISBI Aceh. Maka ketika kesempatan itu tersedia, tetapi tidak dimanfaatkan, di manakah letak kesungguhan kita?

Di tengah wacana kekhawatiran ini, sesungguhnya solusi telah tersedia. Kita tidak sedang kekurangan cara, melainkan kekurangan keberanian untuk bertindak. Prodi Bahasa Aceh di ISBI Aceh bukan sekadar tempat kuliah, ia adalah laboratorium pelestarian bahasa, tempat penemuan kembali kosakata, sintaksis, sastra lisan, dan ekspresi budaya yang selama ini terpinggirkan.

Namun apa daya, banyak yang justru masih menyuarakan bahwa “belum ada solusi”. Padahal, yang terjadi adalah keengganan untuk melihat ke arah solusi yang nyata. Mereka seakan-akan lebih nyaman dalam posisi sebagai komentator budaya daripada menjadi pelaku pelestari.

Inilah yang membuat diskusi tentang kepunahan bahasa Aceh terasa absurd. Kita membahas sebuah penyakit dengan terapi yang sudah ada, tetapi memilih menunggu kematian datang perlahan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, kekhawatiran akan punahnya bahasa Aceh kini telah menjadi “komoditas” yang laris manis di pelataran proyek-proyek kebudayaan. Banyak oknum yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan materi, menggulirkan program-proyek yang tidak menyentuh akar masalah, atau bahkan menjadikannya alasan untuk mendapatkan hibah dan dana pelestarian yang berakhir tanpa dampak berarti.

Istilah yang tepat mungkin “gorengan isu”. Ia laku karena menciptakan rasa bersalah kolektif, namun tanpa konsekuensi nyata. Ia enak dikonsumsi dalam diskusi, namun tak punya energi untuk menggerakkan perubahan.

Spekulasi mulai bermunculan, apakah kekhawatiran itu sungguh-sungguh, atau hanya jalan lain untuk menjual narasi kepada publik demi pencitraan atau keuntungan pribadi? Ini adalah pertanyaan yang layak diajukan di tengah maraknya seminar, konferensi, dan pelatihan yang hanya mengulang frasa-frasa yang sama “Bahasa Aceh terancam punah. Kita harus peduli.”

Tetapi seberapa peduli?

Salah satu akar dari kepunahan bahasa Aceh terletak di lingkungan keluarga. Banyak orang tua muda hari ini lebih memilih berbicara dengan anak-anak mereka dalam bahasa Indonesia. Alasannya bisa beragam, dari kekhawatiran anak tidak fasih berbahasa nasional, takut dicap “kampungan”, hingga ketidakmampuan diri sendiri dalam menggunakan bahasa Aceh yang baik dan benar.

Padahal, rumah adalah sekolah pertama. Jika di dalam rumah saja bahasa Aceh tak terdengar, bagaimana mungkin anak-anak kita menjadikannya sebagai bahasa ekspresi diri?

Pendidikan formal pun tak banyak membantu. Bahasa Aceh nyaris tak mendapat ruang di sekolah-sekolah, kecuali sebagai mata pelajaran muatan lokal yang seringkali tidak diajarkan secara sistematis. Guru pun terbatas. Kurikulum sering tidak relevan. Bahkan dalam beberapa kasus, bahasa Aceh dijadikan selingan atau formalitas administratif semata.

Oleh karena itu, peran ISBI Aceh sebagai lembaga penghasil tenaga ahli dan intelektual bahasa Aceh sangatlah strategis. Namun peran ini tidak akan maksimal tanpa dukungan masyarakat, terutama para pengambil kebijakan dan orang tua siswa. Mendorong generasi muda untuk masuk ke prodi ini adalah langkah nyata yang dapat membalikkan keadaan.

Saat ini, tidak ada jalan lain, kecuali kita sendiri yang bertindak. Kita bisa menyalahkan siapa saja. Tetapi pada akhirnya, tidak akan ada yang datang menyelamatkan bahasa Aceh selain kita sendiri. Pemerintah bisa memfasilitasi, tetapi yang berbicara bahasa Aceh setiap hari adalah kita. Akademisi bisa meneliti, tetapi yang mewariskannya adalah keluarga. Aktivis bisa berkampanye, tetapi yang harus menghidupkan kembali bahasa ini di ruang publik adalah seluruh lapisan masyarakat.

Kita harus berhenti membuat alasan. Kita harus berhenti menunggu momentum. Momentum itu adalah sekarang. Anak-anak muda Aceh harus diberi kesempatan dan dorongan untuk belajar, mengkaji, dan menjadi duta bahasa Aceh. Mereka tidak hanya bisa menjadi guru atau peneliti. Lulusan Bahasa Aceh bisa menjadi penulis, editor, jurnalis, penutur budaya, pengembang konten digital berbahasa Aceh, bahkan kreator film dokumenter yang berbicara tentang dunia dari perspektif budaya lokal.

Bahasa bukan hanya alat komunikasi, ia adalah alat identitas. Kita tidak bisa menyebut diri sebagai orang Aceh jika kehilangan bahasanya. Lebih jauh lagi, kita tidak bisa berbicara tentang kedaulatan budaya jika tidak mampu mempertahankan instrumen dasar dari kebudayaan itu sendiri.

Punahnya bahasa Aceh bukan hanya soal kehilangan kata-kata. Ia adalah kehilangan sejarah, kehilangan filosofi hidup, kehilangan cara berpikir, dan kehilangan sudut pandang yang unik terhadap dunia. Maka, jika kita masih ingin menjadi bangsa yang bermartabat, mari berhenti jadi pewaris pasif, dan mulai menjadi pelaku aktif dalam pelestarian bahasa.

Mari berkaca, punahnya bahasa Aceh bukan sebuah tragedi alami. Ia bukan gempa yang tak terhindarkan. Ia adalah konsekuensi dari keputusan kita yang terlalu lama menunda, terlalu nyaman berdiskusi, dan terlalu lemah untuk bertindak.

Jika kita bertanya, “Punahnya Bahasa Aceh, Salah Siapa?” Maka jawabannya adalah, salah kita semua, jika kita masih memilih diam di saat tindakan sangat mungkin dilakukan.

Namun, masih ada harapan. Selama ISBI Aceh tetap berdiri, selama masih ada anak muda yang mau belajar, selama masih ada keluarga yang memilih bercakap dalam bahasa ibu, selama masih ada satu suara yang berani berkata “Saya mau menjadi bagian dari pelestarian ini” bahasa Aceh belum sepenuhnya punah.

Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian, bukan kekhawatiran, aksi nyata, bukan opini kosong.

Artikel ini telah dibaca 54 kali

badge-check

Penulis

Comments are closed.

Baca Lainnya

ISBI Aceh Terapkan Aturan Kawasan Tanpa Rokok; Solusi atau Sensasi?

15 May 2025 - 18:32 WIB

Kuliah Seni Tari, Bakal Jadi Apa?

15 May 2025 - 18:26 WIB

Tubuh yang Diadili, Menelusuri Perspektif dan Moralitas Penari Perempuan dalam Stigma Sosial

14 May 2025 - 16:51 WIB

Menari di Bawah Bayang-Bayang Mimpi dan Harapan

8 May 2025 - 11:07 WIB

Tari Tradisi; Akar Warisan Seni Budaya

6 May 2025 - 20:17 WIB

Meniti Peluang Kerja dari Prodi Seni Tari ISBI Aceh: Menjanjikankah bagi Peminatnya?

30 April 2025 - 10:55 WIB

Trending di OPINI