Oleh, Anjli Putri (Mahasiswa Prodi Seni Tari Semester VI ISBI Aceh)
Warisan budaya bukanlah sekadar peninggalan masa lalu. Ia adalah akar identitas yang mengakar kuat dalam denyut kehidupan bangsa. Di antara kekayaan budaya itu, tarian tradisional menempati posisi istimewa. Tarian bukan hanya kumpulan gerakan ritmis semata, melainkan juga bahasa tubuh yang sarat makna, doa yang dijalinkan lewat gerakan, dan memori kolektif yang diwariskan turun-temurun. Namun kini, kita dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa akar budaya ini kian tergerus oleh gelombang modernisasi dan arus globalisasi yang deras.
Tarian tradisional Indonesia memiliki keragaman luar biasa, mulai dari tari klasik keraton, tari rakyat, hingga bentuk-bentuk ritual yang menyatu dalam kehidupan spiritual masyarakat. Sebut saja Tari Piring dari Minangkabau, yang mengajarkan kehati-hatian dan keindahan gerak, Tari Saman dari Aceh yang menggambarkan kekompakan dan spiritualitas, hingga Tari Topeng Cirebon yang sarat filosofi tentang watak manusia. Ada pula Tari Rabbani Waheed dari Samalanga, Bireuen. Tarian ini tidak hanya menghadirkan gerak estetis, tapi juga merupakan persembahan rohani yang sakral.
Semua tarian itu bukan produk hiburan semata. Mereka adalah cermin pandangan hidup masyarakat yang melahirkannya. Setiap gerakan mengandung nilai-nilai sosial, religi, hingga etika yang membentuk jati diri suatu komunitas. Gerakan tangan yang lembut, hentakan kaki yang berirama, hingga kostum yang penuh makna simbolik merupakan bagian dari sistem budaya yang kompleks.
Sayangnya, realitas hari ini menunjukkan bahwa eksistensi tarian tradisional semakin memudar. Banyak pertunjukan tari yang hanya muncul dalam agenda seremonial formal, tanpa pemahaman mendalam tentang nilai-nilai yang dikandungnya. Tarian menjadi sekadar tontonan, bukan lagi tuntunan. Generasi muda lebih akrab dengan tarian viral dari media sosial, K-pop dance, atau gerakan-gerakan dari luar negeri, dibandingkan dengan tarian leluhur mereka sendiri.
Fenomena ini bukan semata-mata kesalahan anak muda. Mereka adalah produk dari lingkungan yang tidak cukup memberi ruang dan dukungan terhadap pelestarian budaya. Minimnya pendekatan kreatif dari para pelaku seni, rendahnya insentif ekonomi, kurangnya fasilitasi dari pemerintah, dan pendidikan budaya yang dangkal dalam kurikulum sekolah adalah deretan faktor yang menyebabkan krisis regenerasi dalam dunia tari tradisional.
Ironisnya, justru di luar negeri, budaya Indonesia, termasuk tarian tradisional, mendapatkan apresiasi yang tinggi. Para akademisi dan peneliti dari Jepang, Korea Selatan, hingga Italia tertarik mendalami dan mempresentasikan budaya kita. Banyak karya tari tradisional kita yang lebih dikenal di forum-forum internasional ketimbang di negeri sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam, apakah kita akan terus menjadi penonton atas hilangnya akar budaya kita sendiri.
Tari tradisional merupakan warisan yang mengandung pesan-pesan luhur, penghormatan pada leluhur, solidaritas komunitas, keharmonisan dengan alam, hingga nilai spiritual yang tinggi. Ia menjadi bentuk komunikasi non-verbal yang menyampaikan narasi panjang tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita hidup. Jika ia dilupakan, maka yang hilang bukan hanya tarian, tetapi juga kisah tentang kita sebagai bangsa.
Di tengah tantangan itu, harapan belum padam. Justru kemajuan teknologi dan digitalisasi bisa menjadi alat untuk membumikan kembali nilai-nilai tradisional. Platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok dapat dimanfaatkan sebagai ruang baru untuk memperkenalkan dan menafsirkan ulang tari tradisional secara kreatif. Mahasiswa seni bukan hanya dituntut untuk mahir menari, tetapi juga menjadi agen kebudayaan yang merawat, meneliti, dan mengomunikasikan budaya kepada publik dengan cara yang lebih segar dan relevan.
Tari tradisional tidak harus kaku dan terpaku pada pakem lama. Inovasi dan reinterpretasi dibutuhkan, asalkan tidak merusak esensi dan akar budayanya. Banyak seniman muda yang berhasil menggabungkan gerakan tradisi dengan teknik pencahayaan modern, media interaktif, atau kolaborasi lintas genre. Tarian tradisional pun menjadi hidup kembali, tidak hanya sebagai warisan, tapi juga sebagai pernyataan artistik yang membanggakan.
Dalam konteks ini, perguruan tinggi seni seperti ISBI, komunitas tari, dan lembaga kebudayaan memiliki peran strategis. Kampus bukan hanya ruang akademik, tapi juga laboratorium budaya yang menghasilkan penari, koreografer, peneliti, dan pendidik seni yang berkomitmen terhadap pelestarian budaya. Mahasiswa seni dapat menyelenggarakan kelas tari terbuka, membuat konten edukatif, hingga menginisiasi pertunjukan kolaboratif yang menggugah kesadaran masyarakat.
Tak kalah penting, adalah mendokumentasikan dan meneliti tarian-tarian yang terancam punah. Banyak tarian daerah yang hanya bertahan di ingatan para maestro sepuh, yang bila tidak dicatat dan dikaji, akan hilang bersama mereka. Maka, dibutuhkan akademisi yang tangguh yang bukan hanya berkarya, tapi juga mencatat sejarah. Mereka harus berani mewawancarai tokoh adat, menulis ulang narasi tari dari sudut pandang lokal, dan menyebarkannya dalam bentuk buku, video, atau platform digital.
Tanggung jawab pelestarian ini bukan hanya milik para seniman. Pemerintah pusat dan daerah, kementerian kebudayaan, dinas pendidikan, bahkan pihak swasta harus terlibat aktif. Insentif harus diberikan bagi kegiatan pelestarian tari. Kurikulum pendidikan harus membuka ruang bagi pengenalan budaya lokal. Acara-acara nasional dan internasional harus menyertakan seni tradisional sebagai wajah resmi bangsa. Tanpa intervensi kebijakan yang konkret, tari tradisional hanya akan menjadi kenangan.
Pada akhirnya, warisan budaya yang mengakar tidak akan tumbuh jika tidak disiram dengan cinta, perhatian, dan komitmen. Tari tradisional bukan sekadar gerakan masa lampau, ia adalah napas panjang dari sebuah bangsa yang berbudaya. Menjaganya bukan berarti menolak globalisasi, tetapi menolak untuk kehilangan jati diri.
Maka, mari kita menari bersama akar kita. Bukan hanya agar tubuh ini bergerak, tetapi agar warisan kita tetap hidup. Sebab selama kita masih mampu bergerak dengan kesadaran dan cinta pada budaya sendiri, selama itu pula kita menjadi bagian dari sejarah yang tak lekang oleh waktu.