Oleh: Suriyani (Mahasiswa ISBI Aceh
Prodi Tari)
Di atas sebuah panggung, tubuh-tubuh muda meliuk dalam alur yang teratur dan berirama. Gerak mereka sebenarnya bukan sekadar olah tubuh, tetapi olah rasa, olah jiwa, dan olah harapan. Di balik rias wajah yang memukau dan kostum yang berkilauan, para penari menyimpan pertanyaan yang nyaring di dalam dada, ke mana semua ini akan bermuara.
Tari, sebagaimana ditegaskan oleh Soedarsono, bukan sekadar gerak, tetapi “jiwa manusia yang dituangkan melalui gerak ritmis dan indah.” Namun, keindahan tari sering kali hanya berakhir sebagai tontonan, bukan jawaban atas harapan hidup. Di balik tepuk tangan penonton, terdapat keheningan panjang yang menghantui, apakah ada masa depan yang nyata dari menari.
Minat terhadap studi seni tari terus meningkat, bahkan beberapa tahun terakhir, Program Studi Seni Tari ISBI Aceh mencatat jumlah pendaftar yang melebihi kuota pada jalur SNBP tahun ini. Ini menunjukkan bahwa generasi muda, terutama perempuan, masih percaya bahwa seni dapat menjadi jalan hidup. Namun, apakah jalan ini benar-benar terbuka lebar, atau justru hanya lorong panjang yang samar dan remang.
Seni tari di Aceh, dan Indonesia secara umum, masih menghadapi stigma. Pandangan bahwa seni hanyalah hiburan, bukan profesi yang menjanjikan, menjadi tembok tinggi yang harus dipanjat oleh siapa pun yang memilih jalan ini. Bahkan lebih dari itu, terdapat stereotip bahwa seni tari adalah “pekerjaan perempuan” atau “bakat alami” yang tidak layak dijadikan karier serius. Laki-laki yang memilih jurusan tari masih harus berhadapan dengan label sosial yang merendahkan, seolah kesenian bukan lahan aktualisasi, melainkan deviasi dari norma.
Ironisnya, di tengah gemuruh semangat dan cinta terhadap seni, narasi dukungan terhadap masa depan profesi ini masih lemah. Lulusan seni tari, meski kompeten, sering kali terseret ke jurang ketidakpastian, menjadi relawan budaya tanpa gaji tetap, dan bahkan dianggap sebagai seseorang yang membuka sanggar dengan dana terbatas. Yang lebih memprihatinkan, sebagian di antaranya berpindah ke profesi yang jauh dari dunia tari.
Sebagai sebuah Perguruan Tinggi Seni dan Budaya satu satunya di Sumatera, ISBI Aceh, memikul tanggung jawab besar. Bukan hanya mencetak seniman, tetapi juga menata harapan. Pertanyaannya, sudahkah ISBI Aceh hadir sebagai pelita yang memberi arah, atau masih terjebak dalam peran simbolik semata.
Langkah-langkah strategis perlu terus diakselerasi. Misalnya, kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan ekosistem kerja seni yang inklusif dan produktif, membuka program inkubator seni bagi alumni, dan memperluas jejaring nasional serta internasional agar seni tari dari Aceh tidak hanya hidup di dalam ruang kelas, tetapi juga di panggung dunia.
Tnggung jawab ini tentu tidak hanya di pundak ISBI. Pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat luas harus bersinergi untuk menciptakan ruang berkesenian yang juga layak secara ekonomi. Apresiasi tak cukup hanya dalam bentuk plakat atau panggung tahunan. Diperlukan kebijakan yang berpihak dan berkelanjutan.
Di dalam proses berkesenian, terutama seni tari, kita diajarkan banyak hal yang tak selalu tampak. Disiplin yang dibentuk melalui latihan harian, kekuatan fisik yang terlatih oleh waktu, serta mental yang terasah oleh kritik dan penampilan. Dari sini, seni tari mengajarkan nilai kehidupan, tentang ketekunan, kolaborasi, dan kepekaan rasa.
Dalam dunia tari, terdapat tiga prinsip utama: wiraga (raga/gerak), wirama (irama), dan wirasa (rasa). Ketiganya menyatu menjadi roh dalam setiap pertunjukan. Ketika seseorang memahami esensi ini, ia tidak hanya belajar menari, tetapi belajar menjadi manusia yang utuh peka, kuat, dan ekspresif. Maka seni tari bukan hanya alat ekspresi, tetapi juga alat pendidikan karakter.
Pertanyaannya, apakah nilai-nilai luhur ini cukup untuk membayar biaya hidup. Apakah idealisme ini dapat diubah menjadi profesi yang dihargai dan dibutuhkan oleh pasar kerja. Dimana letak harapan itu sebenarnya.
Harapan, dalam dunia tari, bukan utopia. Ia nyata dalam bentuk-bentuk kecil yang bertumbuh, pertunjukan yang diundang ke luar negeri, sanggar yang berhasil menciptakan lapangan kerja, atau lulusan yang menjadi pengajar seni di sekolah-sekolah. Namun, kisah sukses ini masih bersifat pengecualian, bukan kebiasaan. Kita belum memiliki sistem yang kokoh untuk menjadikan seni tari sebagai profesi yang setara dengan profesi lainnya.
Artinya, harapan itu ada, tetapi belum cukup kuat untuk disebut sebagai kepastian. Maka, tugas kita bersama adalah memperkuat jembatan antara panggung tari dan realitas hidup. Antara cinta pada seni dan kepastian akan masa depan.
Perlu diketahui bersama, opini yang berkembang di masyarakat bahwa tari adalah dunia yang tidak menjanjikan harus dilawan dengan narasi baru. Seni adalah investasi budaya, bukan beban ekonomi. Bahwa menari bukan sekadar kegemaran, tetapi perwujudan pengetahuan, ketahanan, dan kemanusiaan.
Para penari tidak hanya belajar koreografi, tetapi juga menulis notasi, mengkaji sejarah, mengkritik karya, dan melakukan riset. Mereka tidak hanya berlatih di studio, tetapi juga di laboratorium pemikiran. Maka sudah selayaknya dunia akademik tari diakui sebagai disiplin yang utuh dan penting.
Sebagai penutup, enari di bawah bayang-bayang mimpi dan harapan adalah gambaran nyata dari mereka yang memilih jalan seni. Tapi bayang-bayang itu tidak selamanya gelap. Di dalamnya ada kilau yang menuntun. Harapan bukan hanya mimpi sesaat jika kita semua lembaga, negara, dan masyarakat bersedia menjadikannya nyata.
Bagi mereka yang ragu, jangan takut menari. Karena seni tidak pernah mengkhianati mereka yang setia padanya. Dan bagi mereka yang telah memilih jalan ini, teruslah menari meski bayang-bayang belum sepenuhnya pergi. Karena hanya dengan terus bergerak, kita bisa menjemput terang.