Oleh: Sesvi Lianda
Mahasiswa ISBI Aceh
Seni tari telah menjadi denyut nadi kebudayaan Nusantara sejak berabad silam. Dari gemuruh gamelan Bali hingga kompaknya barisan penari Saman Aceh, setiap gerak dan ragam tari menenun kisah, falsafah, serta nilai sosial yang diwariskan turun-temurun. Namun seiring derasnya arus modernisasi dan budaya instan, pamor tarian tradisional kian meredup. Dari panggung-panggung desa hingga sanggar pinggiran kota, gema gamelan dan lenggok tubuh penari semakin jarang terdengar. Apakah generasi mendatang akan mengenang Tari Piring, Jaipong, atau Bedhaya sebagai sekadar catatan Sejarah. Ini menjadi pertanyaan serius yang wajib mendapat solusi.
Di masa lalu, tari bukan sekadar hiburan. Ia sarana komunikasi, upacara sakral, hingga lambang status sosial. Gerakan tangan, ayunan pinggul, dan ekspresi wajah menyampaikan pesan spiritual, adat-istiadat, dan cerita kolektif masyarakat. Tari Piring Minangkabau, misalnya, menggambarkan keseimbangan hidup para perempuan petani padi. Sementara Tari Reog Ponorogo menyihir penonton melalui topeng besar dan iringan kendang yang memekik.
Kini, generasi muda tumbuh dalam ekosistem digital yang menuntut kepuasan instan, video pendek, filter visual, dan musik yang mudah viral. Mereka lebih mengenal tarian TikTok daripada Tari Saman atau Gambyong. Kala pertunjukan tradisional disiarkan, rating televisi sering kali menukik. Bahkan di desa-desa, sanggar tari kesulitan merekrut murid baru karena banyak anak memilih kursus digital marketing atau video editing ketimbang menekuni tari.
Ironisnya, ketika tarian tradisional tampil, ia sering menjadi sekadar pelengkap upacara seremonial—pembukaan lomba desa, kunjungan dinas, atau pernikahan adat bukan sebagai wacana seni yang patut diresapi nilai estetika dan filosofinya. Tari yang sejatinya “berbicara” justru tak diberi ruang dialog. Durasi pementasan dipatok 3–5 menit, tanpa pendahuluan konteks atau penjelasan makna. Penonton, yang sebagian besar tak paham bahasa gerak, hanya menjadi saksi visual singkat tanpa pemahaman mendalam.
Dr. Endang Widiastuti, pengamat seni dan budaya, mengingatkan “Tari bukan sekadar hiburan, ia wadah ekspresi dan identitas bangsa. Jika tidak dipelajari dan diapresiasi, kita akan kehilangan bagian penting dari sejarah dan jati diri.”
Salah satu hambatan terbesar adalah pandangan negatif. Banyak remaja dan orang tua yang meremehkan dunia tari “Mau jadi apa masuk tari?” “Pasti cuma nari-nari doang, tidak ada karier.” Padahal, realitas panggung tari menawarkan ragam pengalaman berharga, diantaranya latihan rutin bersama teman menguatkan rasa solidaritas. Tawa, kelelahan, dan prestasi saling mengikat dalam ikatan komunitas. Selain itu, detik-detik menunggu sorotan lampu, tepuk tangan penonton, dan getaran panggung menciptakan kepuasan emosional tersendiri.
Lewat tari, penari belajar filosofi, bahasa lokal, bahkan struktur masyarakat di daerah asal tarian. Festival tingkat daerah hingga internasional membuka kesempatan perjalanan, pertukaran pelajar, hingga beasiswa studi seni. Pada sisi jaringan, komunitas tari umumnya solid dan suportif mempermudah kolaborasi dan penyerapan peluang kerja di bidang seni dan kebudayaan.
Dengan fakta-fakta ini, pertanyaan semudah “Apa guna belajar tari?” pantas dijawab, “Lebih dari sekadar tarian, ini investasi identitas dan keterampilan lintas budaya.”
Meskipun di permukaan tampak suram, api pelestarian seni tari masih menyala di tangan segelintir pegiat. Di sejumlah desa, sanggar lokal secara mandiri mengadakan pelatihan gratis untuk anak-anak usia SD–SMA. Mereka menyelenggarakan “Pentas Budaya Desa” tiap bulan, menggandeng wisatawan lokal guna menambah pendapatan pelaku seni.
Beberapa sekolah di daerah di Aceh, bahkan mewajibkan ekstrakurikuler tari sebagai bagian kurikulum kesiswaan. Di sana, siswa bukan hanya belajar gerak, melainkan juga sejarah tarian, filosofi di balik kostum, dan struktur musik pengiringnya.
Pemerintah pusat lewat Kemendiktisaintek telah menetapkan puluhan tarian daerah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Dana insentif disalurkan untuk revitalisasi naskah tari, pelatihan guru kesenian, dan restorasi gamelan. Namun, Ketua Asosiasi Sanggar Nusantara, Sri Martani, menilai alokasi anggaran masih terbatas dan birokrasi terkadang lambat mencairkan dana.
Platform digital kerap dituding sebagai biang keterpinggiran tari, karena menyajikan hiburan serba cepat. Namun, di tangan kreatif, YouTube, Instagram, dan TikTok justru menjadi laboratorium inovasi tari tradisional.
Sebagai mahasiswa ISBI Aceh “Kami pun membuat konten tarian tarian Aceh dan Nusantara dengan editing sinematik, iringan musik remix, serta teks penjelasan filosofi dalam bahasa gaul “Hasilnya, video kami ditonton ratusan ribu kali, dan banyak pemirsa DM tanya cara gabung ke ISBI Aceh.”
Model adaptasi ini menunjukkan bahwa tradisi dapat hidup berdampingan dengan teknologi, asalkan dikemas relevan dengan selera modern.
Agar tari tidak sekadar tinggal kenangan, pendidikan budaya harus dimulai sejak usia dini. Orang tua dan guru memiliki peran strategis: memperkenalkan gerakan tari dalam permainan anak, serta menyelenggarakan pertunjukan kecil di lingkungan sekolah dan rumah. Kurikulum wajib memasukkan mata pelajaran tari tradisional, lengkap dengan praktik, teori, dan evaluasi.
Regulasi juga diperlukan, sekolah di seluruh jenjang wajib menyelenggarakan pementasan seni minimal satu kali per semester. Pemerintah daerah dapat memberikan penghargaan bagi sekolah dan siswa berprestasi, serta menyalurkan beasiswa khusus bagi talenta tari.
Bayangkan suatu ketika Tari Jaipong masuk dalam daftar “10 Highlight Festival Tari Dunia”, atau Tari Legong Bali muncul di sebuah film blockbuster internasional seperti tarian Tehri India yang kerap tampil di layar lebar Bollywood maupun Hollywood.
Sebenarnya, kita memiliki segala potensi, keragaman ragam tari lebih kaya daripada negara manapun. Dengan sinergi berbagai pihak, pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas seni, media, dan masyarakat. Tidak mustahil tari Indonesia kembali berjaya, merebut tempat di panggung global.
Tari mengajarkan kita menata gerak sebagai dialog, merangkai estetika sebagai identitas, dan meneguhkan keberagaman sebagai kekuatan bangsa. Jangan biarkan warisan leluhur ini terkubur zaman. Mari bergerak bersama, mendukung sanggar lokal, menyebarluaskan konten budaya, dan menempatkan tari sebagai pijakan masa depan kebudayaan Indonesia yang lebih cemerlang. Dan yang paling penting, mari kuliah ke ISBI Aceh, belajar seni tari itu mengasyikkan lho.