PIDIE – Di tengah absennya qanun khusus yang mengatur pelestarian budaya dan sejarah Aceh, komunitas akar rumput justru tampil sebagai ujung tombak dalam menjaga warisan leluhur. Kondisi ini mengemuka dalam Workshop Kebudayaan bertajuk “Membangun Wawasan Sejarah” yang digelar oleh Masyarakat Peduli Sejarah (MAPESA) di Hotel Safira, Pidie, Selasa (27/5/2025).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur Pidie, Umar Mahdi, SH, MH, mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada regulasi khusus yang memberikan kepastian hukum terhadap pelestarian budaya dan sejarah di Aceh.
“Pelestarian budaya hanya disebut sekilas dalam Pasal 34 huruf f Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013. Ini sangat tidak memadai untuk melindungi kekayaan budaya Aceh yang begitu besar,” ujarnya.
Ia menyebut, beberapa kawasan cagar budaya yang seharusnya menjadi perhatian serius seperti peninggalan Kesultanan Aceh, situs-situs bersejarah di Banda Aceh dan Aceh Besar, serta peninggalan Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara.
Menurut Umar, di tengah kekosongan regulasi ini, justru komunitas seperti MAPESA dan Beulangong Tanoh yang secara konsisten bekerja di lapangan untuk mendokumentasikan, membersihkan, dan merawat situs-situs sejarah.
“Kalau tidak ada mereka, mungkin kita sudah kehilangan banyak jejak sejarah. Maka, dukungan terhadap komunitas seperti MAPESA bukan hanya penting, tapi menjadi kebutuhan mendesak,” tambahnya.
Senada dengan itu, Dosen Kesenian Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Ichsan, menilai bahwa budaya dan estetika Aceh sejatinya tidak pernah hilang. Yang hilang, kata dia, adalah kesadaran masyarakat dan negara terhadap nilai-nilainya.
“Nilai budaya kita telah direduksi oleh tafsir agama yang kaku, trauma sejarah, dan minimnya dukungan dari sistem pendidikan maupun kebijakan pemerintah. Akibatnya, kita menjadi asing di tanah kita sendiri,” tutur Ichsan.
Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Meuseuraya Akbar 2025 yang digelar oleh MAPESA. Rangkaian kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kembali ikatan sejarah dan budaya masyarakat Aceh melalui berbagai kegiatan partisipatif.
Agenda puncak Meuseuraya Akbar akan digelar Rabu (28/5/2025) dengan kegiatan meuseuraya akbar dan khanduri jeurat di Gampong Cot Geunduek, Pidie. Kegiatan ini melibatkan masyarakat setempat, tokoh adat, pelajar, dan relawan komunitas.
Rangkaian acara akan ditutup dengan forum duek pakat pada Kamis (29/5/2025) yang akan merumuskan arah kebijakan pelestarian situs bersejarah di Pidie. Forum ini diharapkan dapat menjadi penghubung antara inisiatif komunitas dan tanggung jawab pemerintah. (ril/rif)